Matahari hampir tenggelam ketika Lana
tiba di Conwy. Cahayanya menyisakan warna jingga keemasan di atap-atap rumah
kota kecil itu. Dedaunan yang masih tersisa di ranting terlihat bergoyang
kesana kemari mengikuti arah angin. Untuk sampai di rumah yang akan ia tinggali
selama pengambilan data, mobil uber yang ditumpangi Lana melewati sebuah kastil
tua. Kastil itu masih terlihat gagah hingga sekarang. Kastil yang sempat ia
kunjungi saat pertama kali survey ke Conwy beberapa bulan lalu.
Kastil tersebut dibangun untuk Raja
Edward I dan dirancang khusus oleh arsitek kenamaan asal Prancis bernama Master
James of St George. Kastil di pantai utara Wales ini menjadi salah satu benteng
terbaik yang pernah dimiliki warga Wales pada abadnya, salah satu yang paling
dibanggakan oleh semua orang disana. Tak tanggung-tanggung, pihak kerajaan
diperkirakan menghabiskan dana hingga puluhan ribu poundsterling untuk
membangung kastil megah ini. Kastil yang di dari tahun 1283 sampai 1287 itu mempekerjakan
lebih dari 1.500 perajin dan buruh dari seluruh Inggris Raya. Luar biasa
memang. Sekarang meski tak lagi difungsikan oleh kerajaan, Conwy Castle tetap
ramai dan menjadi salah satu tujuan wisata favorit bagi yang berkunjung ke
Conwy.
***
|
The way home |
Lokasi rumah yang akan ditinggali
Lana tak sampai 5 menit dari Kastil. Rumah airbnb
itu ia sewa untuk dua minggu. Rumah bergaya Scandinavia yang membuat Lana
semakin bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas penelitiannya. Disana ia
ditemani oleh si tuan rumah, seorang nenek tua yang berhati selembut salju.
Setiap pagi Lana selalu sigap menyiapkan entah itu sereal dengan susu semi skimmed, potato coat, garlic bread atau
sekedar teh Twinnings lemon grass
hangat untuk Alana. Jarang-jarang orang bule sebaik ini pada tamunya. Terlebih,
menyajikan sarapan bukanlah budaya orang Inggris yang terkenal mandiri. Kalau
mau sarapan ya ambil sendiri. Tapi berbeda dengan nenek Louisa. Hal inilah yang
membuat Lana betah berlama-lama tinggal di Conwy.
“Hari ini mau kemana?” tanya nenek
Louisa saat Lana baru tiba di ruang makan.
“Hei, nggak kemana-mana nek. Mungkin
akan dirumah aja mengolah data.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Baguslah. Hari ini prediksinya ada
angin kencang. I just checked the weather
forecast. You better stay at home.”
Melihat weather forecast dipagi hari bagi orang Inggris itu sama pentingnya
dengan mencuci muka setelah bangun tidur. Wajib hukumnya, fardu ain. Kemdian, rute
perjalanan dan baju yang akan dipakai hari itu akan ditentukan oleh hasil prediksi
weather forecast. Cuaca Inggris yang
tak menentu juga menjadi small talk
favorit pembuka obrolan dengan teman atau orang baru sekalipun. Selalu ada hal
menarik yang bisa dibahas tentang cuaca.
Hari ini tepat dua minggu Lana
melakukan penelitiannya. Satu per satu data yang ia butuhkan sudah berhasil ia
dapatkan. Setiap hari biasanya ia berkunjung ke Conwy Primary School, mengobrol
dengan guru-guru yang ada disana, memperhatikan cara anak-anak belajar dan
berinteraksi lalu mendokumentasikan semuanya dalam bentuk narasi dan gambar. Namun,
soa photo-memoto, Lana harus mendapatkan izin dari guru dan orangtua murid
terlebih dahulu. Inggris memang memliki peraturan yang cukup ketat terkait
privasi anak, dilarang keras mengambil photo anak-anak tanpa se izin guru dan
orangtua mereka. Jika ketahuan mengambil photo tanpa izin, apalagi sampai
mengunggahnya ke media social, orang yang bersangkutan bisa dikriminalisasikan.
Ya, segitu pentingnya menjaga privasi anak bagi orang Inggris. “Anak-anak itu
belum tentu suka kalian photo. Mereka belum tentu suka dengan photo yang kalian
unggah. Hanya saja mereka belum bias menyampaikannya. Maka kitalah yang harus
peka, kita yang harus membantu mereka menajaga privasinya.”, begitu penjelsan salah
satu orang tua yang kutemui di Leeds beberapa bulan lalu. Ah, hal-hal yang
selama ini dianggap biasa oleh orang Indonesia, ternyata menjadi hal penting
bagi orang Inggris. Benar kata Ayahku, “berjalanlah, nak. Kau takkan pernah tau
apa yang terlewatkan oleh negerimu jika tak pernah melihat negeri orang lain.”,
ujarnya berulang-ulang. Sekarang aku faham apa yang ia maksud.
Pelajaran lain dating dari nenek
Louisa. Dua minggu ini banyak ia habiskan dengan bertukar cerita dengan sang
nenek. Beliau berasal dari Edinburgh, sebuah kota cantik di Skotlandia sana.
Negeri tempat “lahirnya” Harry Potter untuk pertama kalinya. Nenek Louisa
pindah ke Conwy karena mengikuti suaminya yang bertugas Conwy Harbour. Beliau
mempunyai tiga orang anak namun tak satupun yang tinggal dengannya. Anak
pertama dan keduanya bekerja di London, sedangkan bungsunya menikah dengan
lelaki Muslim berkebangsaan Spanyol lalu menetap di sana. Itulah sebabnya ia juga
sudah tak asing lagi dengan perempuan berhijab, karena putri bungsunya pun
ternyata sudah menjadi muallaf semenjak menikah dan menutupi kepalanya dengan
hijab sama seperti Alana. Ia sangat senang saat mengetahui bahwa Alana akan
tinggal lama dirumahnya. Alana yang berkerudung rapi itu mengingatkannya pada
bungsunya yang jauh di Eropa Selatan sana. Nenek Louisa memang tinggal seorang
diri semenjak suaminya meninggal lima tahun. Setelah suaminya meninggal, nenek
Louisa memutuskan untuk tetap tinggal di Conwy meski hanya seorang diri. Ia
selalu menolak saat anak-anaknya mengajak untuk pindah ke London atau pulang
kampung ke Edinburgh. Baginya Conwy adalah rumah, dan akan selalu rumah. Ia tak
pernah memikirkan untuk menghabiskan masa tuanya di tempat lain. Hanya Conwy, hanya
kota kecil di pesisir pantai ini saja yang ada dihati dan fikirannya, bukan
yang lain. Itulah sebabnya anak-anaknya mendaftarkan rumah keluarga nenek
Louisa di website penginapan airbnb
berharap ada orang-orang baik yang akan berkunjung menginap sambil menemani ibu
mereka yang sudah tua ini.
“Nenek
Louisa, can I ask you something?” tanya Alana saat sang nenek asik menata
bunga-bunga kesayangannya didalam vas.
“Yes sure, sweetheart. What is that?” jawab nenek Louisa tersenyum.
“What do you let you little girl convert to Islam?” tanya Lana hati-hati.
Nenek Louisa tersenyum manis, hingga
gurat-gurat hari tuanya tampak tersamarkan.
“Darling, let me tell you something. Everyone has their own way to be
happy. Marie, my little girl, decided to marry the one she loves, convert to
Islam and be happy with that. So, what am I supposed to do?” jawab nenek Louisa sambil menatap
mata Alana dalam-dalam.
“But are you happy with her decision?” Alana menggenggam tangan nenek Louisa erat.
“A mom is always the happier when her child is happy, Alana..” Nenek tersenyum dalam.
“So, you are okay with that?”
“I was not, at first. But then, I realized that there is no point of stopping
her from what she believes alright. So, I just let it be..”
“Sorry, I know I shouldn’t ask this. But, do you feel lonely now?”
“Yes, I do. But I’m fine, I’m happy for my children. I’m happy when they
are happy.”, matanya berkaca-kaca.
Mereka saling berpelukan. Kemudian
percakapan pagi itu semakin melebur bersama the yang mereka seduh. Alana
menarik nafas panjang “Pagi yang tak mudah..”, gumamnya dalam hati.