“Nanti kalo aku gede aku mau kayak Unyi, jadi docen” celetuk
malaikat kecil itu mengagetkanku yang
tengah asik memriksa hasil latihan menulisnya dan teman-temannya.
“Waaah benarkah sayang? Kenapa gak jadi presiden aja, kan duitnya
banyak” godaku sambil meliriknya.
“Gak ah. Pleciden cibuk.. Ntar aku gak bica sering ketemu Unyi”
jawabnya lugu sambil melipat-lipat kertas origami merah mudanya yang sudah tak
berbentuk.
Celotehan polos
Jingga selalu saja mampu membuatku tersentak, tau apa anak sebesar ini soal
cita-cita. Terlebih lagi soal sibuk, ia dengar dari mana pula istilah itu di tempat
yang jauh dari kehidupan luar ini. Ya, Jingga adalah penghuni tetap Panti Asuhan Mata Cinta. Menurut cerita
Ibu Lasmi, ketua pengurus panti, Jingga ia temukan masi berbalut tali plasenta tak
jauh dari pertigaan Jalan Soebroto. Nama Jingga adalah pemberian dariku empat
tahun yang lalu ketika aku bersama teman-teman datang berkunjung untuk kegiatan
bakti sosial kampus. Dari awal, gadis kecil ini sudah menarik perhatianku. Semenjak
kedatanganku pertama kali ke panti, alam seperti menuntunkun untuk selalu
merindukan Jingga dimana pun aku berada. Sejak itu aku selalu rutin mengunjungi
Jingga sambil melaksanakan tanggungjawab batinku mengajarkan kakak-kakaknya
disana menulis dan berhitung. Kadang aku datang sendiri, kadang ditemani Jihan
dan Nadin. Diantara teman satu kelas yang kala itu berjumlah tiga puluh dua
orang, hanya kami bertiga yang bertahan.
Pernah ketika itu aku sibuk skripsi, selama dua minggu
aku tak punya waktu untuk berkunjung ke panti, dan alhasil aku jatuh sakit. Badanku
panas tinggi. Mama tau aku pasti rindu Jingga dan Mama yang sangat tanggap saat
itu juga langsung datang ke panti dan memohon pada Bu Lasmi agar Jingga boleh
dipinjam dan dibawa kerumah. Aku ingat Mama menggendong Jinggaku itu seperti
membawa bayi boneka teddy bear dan dengan sabar hingga ke kamarku di lantai dua yang
ajaibnya setelah bertemu Jingga panasku langsung turun, drastis. Jingga lebih
sakti daripada dokter Khalil, dokter pribadinya Kakek. Sekarang, detik ini Jingga sudah berumur empat
setengah tahun, tak terasa sudah dua setengah tahun yang lalu kejadian itu
berlalu.
“Jingga, sini cantik.. mau sholat dzuhur bareng Unyi?
Ayo siapa ntar yang mau masuk surganya Alloh bareng-bareng? ” ujarku setengah berlutut sambil merapikan
rambut tebalnya yang acak-acakan.
“Mau.. mau.. di syurga banyak kue cokyat kan Unyi?”
jawabnya menggebu-gebu.
Jinggaku dengan mata bulat dan pipi penuh diwajahnya sudah tumbuh
besar menjadi gadis cilik yang manis dan Ibunya diluar sana pasti akan hidup
dalam belenggu penyesalan tak bertepi, seumur hidup.
Menggemaskan setiap kali mendengar Jingga memanggilku
dengan panggilan Unyi, panggilan kepada kakak perempuan yang bagi orang Minang
secara konvensional disepakati dengan sebutan Uni itu entah mengapa menjadi
berubah dan terdengar sedikit berbeda ketika keluar dari mulut mungil Jingga.
Dan jadilah panggilan ini menjadi panggilan ade-adek lainnya secara berjamaah.
Unyi Ara mereka memanggilku dan Unyi Ala untuk Jingga yang sama sekali merasa
tak berdosa ketika menukar-nukar bunyi suku kata yang keluar dari mulut
cadelnya itu.
#To be continued....
Nb: Please kindly leave your comment for my first fiction post, bloggy. Thanks ;)