Sejatinya malam ini saya memutuskan untuk tidur lebih awal
karena kegiatan sehari ini cukup menguras energi. Namun ketika sudah siap-siap
untuk tidur, mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur, tangan
saya rasanya geli pengen ngetik. Ide di kepala saya rasanya memberontak untuk
segera dikeluarkan. Saya merasa perlu untuk segera menulis. Takut-takut kalau
di tunda lagi nantinya malah lupa.
Jadi gini, kemaren di sebuah seleksi yang diadakan oleh
pihak universitas saya menyajikan sebuah karya tulis yang membahas dampak
globalisasi terhadap pendidikan. Salah satu dampak yang saya kemukakan adalah
adanya paham sekulerisme yang mulai merasuk ke dalam sistem pendidikan di
Indonesia. Hal ini sangat berhubungan denagn topik yang say an teman-teman
#IndonesiaTanpaJIL Chapter Padang bahas pada kopdar hari Minggu lalu. Dengan
sangat menggebu-gebu saya pun menjelaskan bahwa ketika perkara agama dan
perkara dunia benar-benar di pisah maka akan berbahaya. Alasan dari diikutinya paham sekuler ini adalah
untuk memaksimalkan masing-masingnya dengan mendikotomi sekolah umum dan
sekolah agama. Ya, mungkin saja kebijakan ini akan
mengahasilkan beberapa ilmuan handal namun mereka tidak paham agama, mereka tak
tahu norma. Di lain sisi, bisa jadi kebijakan ini akan melahirkan para individu
yang faham agama namun mereka gagap teknologi. Disini saya tidak bermaksud
menjeneralisasikan, akan tetapi tak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini memang
kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah salah satu bentuk
nyata dari dampak sekulerisme yang digiring oleh kencangnya arus globalisasi ke
dalam dunia pendidkan saat ini.
Nah, yang namanya presentasi (red: ujian) karya tulis pasti
akan ada penguji toh? Para penguji inilah yang nantinya akan “mempertanyakan”
tulisan saya. Dalam hal ini saya diuji oleh empat orang penguji dengan satu
pertanyaan (panjang) dari masing-masing penguji. Alhamdulillah satu per satu
pertanyaan bisa saya jawab dengan lancar hingga akhirnya sampailah saya pada
sebuah pertanyaan yang bikin saya gregetan. Pertanyaan yang bikin saya pengen
garuk-garuk tembok saking gregetannya. Pertanyaan yang sering saya dengar
diluar saat “guyon” masalah sekulerisme dan pertanyaan yang sama dengan yang
ditanyakan oleh dosen penguji di sesi presentasi Bahasa Inggris di ruangan
sebelumnya. Tapi tetap saja ketika pertanyaan ini muncul saya selalu meras
belum bisa menjawabnya dengan sempurna. Pertanyaannya adalah:
Saudara Nesha, seperti
yang kita ketahui bahwa paham sekulerisme yang dianut oleh negara-negara barat
bahkan membuat negara mereka menjadi semakin maju. Ditanya masalah moral,
mereka pun terlihat jauh lebih bermoral dan lebih toleran dibanding kita orang
Indonesia yang beragama ini. Mereka mau menjaga kebersihan tempat-tempat umum,
mereka segan kalau merokok ditempat umum, dsb. Bagaimana pendapat anda tentang
hal tersebut..?
Tuinggg.. Yap, saya
ditanya ginian lagi. Ini common sense
sih tapi tetap aja susah ngejelasinnya. Paling tidak saya butuh sedikit waktu untuk
berfikir dan merangkai kata agar jawaban saya bisa “ngena”. Agar maksud saya
untuk menyatakan bahwa Indonesia tak harus ikut-ikutan sekuler untuk bisa
terlihat sejajar dengan negara barat bisa tersampaikan dengan baik.
Maka jawaban saya untuk pertanyaan di atas adalah:
Iya, mereka maju dalam hal teknologi dan inovasi lainnya
namun yakinlah mereka belum benar-benar maju dalam hal pemikiran. Fikiran
mereka cenderung sempit, hati mereka baku, mereka mati rasa. Ada kalanya juga mereka
tak mampu lagi berfikir jernih dalam keadaan terdesak karena koneksi vertikal
mereka dengan Sang Pemilik ilmu pengetahuan tersebut sudah mereka putus dari
awal. Mereka meninggalkan Tuhannya begitu saja. Kita sebagai negara yang
menjunjung tinggi Pancasila sebagai pilar negara tentu tak bisa seperti itu. Sila
pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebuah pengakuan mendasar
agar kita selalu melibatkan Agama dan
Allah dalam setiap kegiatan kita. Termasuk dalam hal menuntut ilmu tentunya. Untuk
pertanyaan moral dan toleransi saya cuma manut-manut aja. Karna waktunya habis
dan saya juga bingung mau ngejawab dari mana. Poor me..
Itu adalah jawaban saya di sesi Bahasa Inggris.. nyesek
rasanya karena cuma bisa jawab sedangkal itu saja. Sesempainya diluar rungan saya
langsung nelfon Kak nurul, kakak keren saya di dunia nyata dan dunia maya, saya
“ngadu” dan nanya nanti kalo di sesi kedua saya ditanya masalah itu lagi saya
harus jawab apa?
Dan ini jawaban saya di sesi kedua, setelah mendapatkan “suntikan”
ilmu dari Kak Nu.. :’)
Mereka tidak benar-benar maju, Pak. *Gak tau kenapa
tiba-tiba berani nge-claim gitu aja*Dan
iya mereka memiliki rasa toleransi yang tinggi tapi apakah benar-benar begitu
adanya? Sebatas manakah toleransi mereka? Saat saudara-saudara kita di Syria di
bombardir dengan senjata pemusnah masal mereka kemana? Saat legitimasi warga
Mesir di khianati mereka kemana, Pak? Katanya masyarakat modern yang toleran
dan menjunjung tinggi demokrasi tapi kok diam-diam saja? *Saya mulai emoseeeehh*
Ketika orangtua mereka menua maka dengan
mudahnya saja mereka menitipkan orangtua mereka di panti jompo.. Itu artinya
apa? Pada intinya, saya tetap menolak sekulerisme
di tatanan Pendidikan di Indonesia. Agama dan pengetahuan umum harus berajalan
beriringan. Keduanya harus saling melengkapi. Orang yang punya kemampuan lebih
dalam bidang teknologi dan logika berhitung akan mudah saja mengaplikasikan
ilmunya untuk meng-hack rekening-rekening
besar atau menyadap beberapa data penting karena mereka tidak punya koridor agama
yang akan mengontrol mereka. Banyak orang-orang pintar di Jepang yang pada akhirnya
mengakhiri hidup mereka dengan harakiri karena mereka tidak punya agama. Mereka
tidak punya “tempat kembali” ketika ada masalah. Mereka tidak punya “tempat
mengadu” untuk meluapkan rasa. It’s so
pathetic..
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa seharusnya saya bisa menjawabnya
secara lebih kompleks lagi. Saya merasa perlu untuk belajar lebih lagi tentang
hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan selalu kita temui dalam
kehidupan sehari-hari. Jika tak pandai-pandai menjawab maka pada akhirnya
masyarakat akan meng-amin-kan bahwa tak ada masalah dengan sekulerisme. Lebih parah
lagi jika dengan jawaban kita yang tidak
begitu meyakinkan maka masyarakat akan berpendapat bahwa sekulerisme itu bagus
dan patut ditiru. Naudzubillah..
So that, I bravely say that I against secularism and will
always do. Pendidkan di Indonesia harus diselamatkan dari Sekulerisme. Dan yang
akan menyelamatkan itu adalah kita, anak muda.
Saya merasa beruntung bisa menjadi bagian dari #IndonesiaTanpaJIL
Chapter Padang (meski belum aktif-aktif banget :3) dan semoga bisa terus
belajar dengan teman-teman keren disana. Yuk sama-sama belajar dan lakukan
sesuatu untuk negara dan agama kita. Mulai dari yang sederhana dulu, misalnya
kayak gabung di #ITJ gitu, *hhee tetep promosi*. Karena kalau bukan kita, siapa
lagi? :D
Rabu, 16 April 2014
23:59 WIB
#IndonesiaTanpaJIL