Kamis, 26 Oktober 2017

Sehari di Paris

Paris adalah kota yang sempat hampir saya hapus dari bucket list saya. Penyebabnya adalah maraknya ledakan bom yang saat itu terjadi di Paris dan isu islamophobia yang menjadi momok pasca ledakan itu terjadi. Saya ingat betul saat sebuah ledakan di terjadi di Paris, saya yang saat itu menonton beritanya dari sebuah restoran cepat saji di Inggris bersama beberapa orang teman bule lainnya sangat merasakan ketegangannya. Maka dari itu, tadinya saya sudah ingin mengikhlaskan Perancis dari daftar negara yang ingin sekali saya kunjungi, seperti saya mengikhlaskan Turki dihapus dari bucket list saya di pertengahan tahun lalu. 

Tak hanya itu, Paris mendadak menjadi tak menarik setelah beberapa teman bercerita tentang pemgalaman mereka yang tak menyenangkan saat mengunjungi kota itu. Ada yang kecopetan tas dan passport sampai tidak bisa balik ke UK, ada yang kehilangan handphone, dan banyak cerita-cerita tak enak lainnya yang saya dengar tentang Paris. Tapi setelah di fikir-fikir lagi, you're not travelling Europe if you're not visiting French, right? hehe.. Jadinya kami tetap memutuskan untuk mengunjungi negeri Napoleon Bonaparte itu meski hanya sehari. 

Maka inilah sedikit cerita tentang sehari mengelilingi Paris. Perjalanan bus dari Amsterdam ke Paris ditempuh kurang lebih 6 jam. Saya dan Sekar menaiki bus malam dengan tujuan bisa menghemat biaya penginapan (mahasiswa banget yaa wkwk). Tapi bus-bus antar negara di Eropa biasanya sangat nyaman. Busnya juga dilengkapi dengan portable plug yang memungkinkan kita mengecas hp dan kamera selama perjalanan. Maklum, hp dan kamera adalah asset terpenting bagi traveller student seperti kami waktu itu. Karena memang ketika sampai di negara-negara tujuan, tak ada hal yang paling menarik selain mengabadaikan setiap sisi kota dan menangkap setiap momen berharganya lewat lensa. Kami tidak akan mengisi liburan dengan shopping-shopping fancy karena memang budget-nya tidak ada hihihi..


                    


Setelah perjalanan yang cukup panjang, membelah jalanan Eropa yang sunyi senyap, akhirnya kami sampai di Paris. Rasanya? deg-degan bahagia. Subuh di Paris benar-benar sepi. Di sepanjang jalan sudah mulai beralas dedaunan yang gugur. Tanda musim panas sudah mulai berakhir dan musim gugur berangsur datang.  Kami sampai ketika Paris masih sangat gelap, sekitar pukul 5 subuh saat itu. Untung saja teman kami, Satria, sudah memberikan instruksi harus kemana dan naik transportasi apa setelah turun dari bus. Kami berjalan menggerek koper menuju stasiun tube terdekat, tapi karena memang masih sangat pagi, ternyata pagar stasiunnya masih tutup. Disekitar masih gelap sekali, tidak ada siapa-siapa yang bisa ditanyai. Disitu saya dan Sekar mulai sedikit was-was. Bagaimana nanti jika tiba-tiba datang segerombolan penjahat berbadan besar bertato lalu kami di culik dan dibawa kabur ke pinggiran Eropa? (kebanyakan nonton film thriller hihi). Syukurnya mimpi buruk itu tidak terjadi karena tepat jam 6, dari kejauhan terlihat samar-samar sosok berseragam lengkap mendekat kearah gerbang, kemudian membukakannya untuk kami. Agak unik memang tube station , karena di Inggris saya tidak pernah melihat station yang punya gerbang. FYI, gerbangnya persis kayak gerbang sekolah yang terbuat dari besi itu. Kami menuni anak tangga menuju tube station, membeli tiket dan kereta bawah tanah itu membawa kami melesat secepat kilat ke tempat tujuan.  

Perjalanan mengelilingi kota Paris ini tadinya akan di temani oleh Satria, teman kami satu angkatan beasiswa yang berkuliah di Univeristy of Sorbonne. Namun qadarullah hari itu Satria demam tinggi sehingga harus bedrest. Karena tadinya tau mau di guide, jadinya kami tidak membuat itinerary detail untuk di Paris (ini jangan ditiru yaa). Untungnya, meskipun sedang sakit, Satria tapi tetap berbaik hati membuatkan kami super detail itinerary dilengkapi dengan peta yang sudah diberi stabilo dan notes lengkap berisi jenis transportasi apa saja yang harus kami ambil nantinya. Satria memastikan kami benar-benar faham dulu semua rute sampai akhirnya kami berangkat. Beneran suka terharu sama teman-teman yang baiknya kebangetan kayak gini. 


Perjalanan menyusuri sisi kota Paris pun dimulai. Saya dan Sekar memulai perjalanan kami dari Museum Louvre. Museum dimana karya-karya seniman hebat dunia ditampilkan., salah satu yang paling terkenal seperti lukisan monalisa. Museum seni ini merupakan museum yang paling banyak dikunjungi oleh turis dari berbagai penjuru dunia. Saya sebenarnya punya free entry previlage untuk masuk ke dalam musium karena berstatus student. Namun saya yang parno parah takut kecopetan ini meninggalkan semua dokumen penting di dalam koper, termasuk student card. Akhirnya saya hanya bisa masuk sampai lobi dan tidak melihat sampai ke dalam. Sungguh sangat merugi. :( Akhirnya Sekar masuk sendirian dan saya menunggu di bagian luar, sambil berkeliling di toko-toko suvenir.. huhu nggak mutu banget yaaa. Tapi akhirnya nggak sanggup beli apa-apa juga karena semua mahaalllll. Akhirnya cuma beli postcard sama magnet kulkas, again. Ohya disini kami mendapatkan pengalaman yang cukup unik. Ketika berphoto-photo, tiba-tiba datang seorang bapak tua dengan kamera polaroid vintage di tangannya yang dengan sigap memotret kami. Belum selesai kekagetan saya dan Sekar karena mendadak di photo, tiba-tiba si Bapak mamaksa kami membayar 20. Fix, kena prank! >.< Kami pun menolak karena dari awal kami tidak pernah meminta diambilkan photo. Tapi karena kasihan tetap kami beri 5 kemudian kabur hehehe. Yaap, thing like this happnens in tourism spots in Eurpore. 

Bagian luar musium yang sangat artistik, buat bisa photo di spot ini antrinya luar biasa ~

The euro travellers hehe

Setelah puas menikmati keindahan Louvre, kami melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi ikon Paris selanjutnya, Arc de Triomphe. Saat mengunjungi tempat ini, seketika saya merinding karena teringat salah satu scene di film 99 Cahaya di Langit Eropa. Di film ini diceritakan bahwa dari monumen ini, jika di tarik garis lurus kearah timur, maka kita akan bertemu dengan kota Mekkah. Posisinya benar-benar sejajar. Subhanallah.. Kenapa bisa bgitu? Kabarnya, ini merupakan bagian dari kekaguman Napoleon Bonaparte terhadap Islam. Sejak Napoleon masih masih menjadi perwira Prancis di Mesir, ia sangat terkesan dengan Islam :)


Arc de Triomphe

Selesai dari Arc de Triomphe dan Camp de Elysées, kami menuju ke sebuah desa pelukis bernama Monmartre Village. Tempat rekomendasi Satria. Dan entah kenapa, tempat ini rasanya melekat sekali di hati saya hingga sekarang. Lokasinya memungkinan kita untuk melihat kecantikan kota Paris dari ketinggian. Tempat dengan pemandangan yang indah, musisi jalanan di mana-mana, pokoknya Indah. Bagi saya, Monmartre tak ubahnya seperti galeri seni di alam terbuka. Di tempat ini berkumpul banyak pelukis dari penjuru dunia yang melukis di sepanjang jalan. Beberapa terlihat sedang melukis pejalan kaki yang lewat. Oh it's always fascinating to see people paint 💕  Disini saya juga bisa mempraktekkan satu-satunya bahasa Prancis yang saya bisa, bonjour! Lalu mereka menjawab dengan sapaan yang sama, bonjour! kemudian dilanjutkan dengan ngobrol berbahasa Inggris, hehe seru :)) Ketika kami mengatakan dari Indonesia, mereka langsung menjawab "Oh, Soekarno!". Wah Bapak Proklamator kita se terkenal itu.. Pokoknya kalau suatu saat nanti teman-teman berkesempatan ke Paris, wajib sekali mengunjungi tempat ini. Ohya, konon kabarnya musisi Anggun C Sasmi juga tinggal di sekitar sana, lho. 



 
The street artists.. they're just so kewl ~
Dari Monmartre, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Raya Paris. Mereka menyebutnya Grande Mosqueè de Paris. Lambang bulan bintang masih terlihat kokoh di puncak menaranya, umat muslim pun masih bisa sholat dan mengaji disana. Tak ada tanda kebencian apapun. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.. Memang agak jauh dari pusat kota, but definitely worth to visit. Mengunjungi masjid-masjid di bumi Eropa ini selalu menjadi hal sangat menarik. Setelah menempuh beberapa menit perjalanan kereta, kami akhirnya sampai. Saya tertegun melihat bagaimana arsitekur dan kaligrafi Islam terlihat sangat mewah menyelimuti seluruh sisi masjid. Masjidnya juga ramai dan kegiatan beribadah terlihat seperti biasa saja. Disana juga tidak ada pengawasan polisi yang gimana-gimana banget. Semuanya berjalan normal. Kunjungan ke Masjid itu benar-benar membuka mata saya bahwa cahaya Islam itu benar-benar telah tersebar ke seluruh bumi ini. Bahkan di Paris, kota fashion dengan sejuta kemewahan dunianya, ada sebuah Masjid besar yang selalu ramai saat waktu sholat tiba. Meski tak terdengar kumandang azan yang bersahut-sahutan di langit-langit kota ini karena memang hanya boleh terdengar untuk di bagian dalam masjid saja, namun itu sudah lebih dari cukup :')


Grande Mosquee de Paris 💕  (copyright: wikimedia.com) sedih karena kelupaan ambil photo whole look kayak gini

Di Masjid ini jugalah kami bertemu dengan Mas Akzar, seorang pelajar Indonesia yang sedang mempersiapkan S3 nya di sana. "Dari mana Mba?" tegur beliau mengagetkan. "Wah orang Indonesia, Mas? Tadi kirain Malaysia.." Awalnya kami takut menegur karena mengira Mas ini orang Malaysia, wajah melayu kan mirip-mirip yaa hehe. Rasanya seperti dapat jackpot ketika bisa bertemu dengan sesama warga Indonesia di negeri nan jauh itu. Mas Akzar bercerita banyak hal tentang kehidupan di Paris hingga akhirnya beliau menawarkan untuk menemani kami melanjutkan perjalanan mengelilingi kota Paris. Saya dan Sekar awalnya nggak enak karena mungkin saja Mas Azkar ini ada keperluan lain. Tapi beliau bilang tidak apa-apa. Maka jadilah setengah hari selanjutnya kami habiskan bersama Mas Azkar, tour guide warga lokal yang tentunya anti nyasar.. 😁 

Dan tujuan kami selanjutnya adalah.... Menara Eiffel! Saat pertama kali melihat menara ini di depan mata, rasanya kehabisan kata sekali. Cantik, semakin senja semakin cantik. Kami menghabiskan waktu di taman dibawah menara, bersantai menatapi menara dari jauh. Cuma duduk bengong aja tapi rasanya udah bahagia hehe..

Mas Akzar dan dua bocah petualang
     
Senja di Manara Eiffle.. MashaAllah, speechless.


Perjalan sehari di Paris mengajarkan saya banyak hal baru. Saya awalnya ber suudzon dengan negara ini akhirnya sadar kalimat we cannot judge something just from its cover itu benar adanya. Paris ternyata kota yang sangat ramah, tenang dan cantik apa adanya. Salah satu kota tercantik yang pernah saya kunjungi. Di Paris saya dan Sekar juga dipertemukan dengan orang-orang baik, Satria dan Mas Azkar yang membuat perjalanan kami terasa lebih ringan. So, merci beaucoup, Paris. Je t'aime ~

Ps: Perjalanan di negara sebelumya (Belanda) ada disini yaaa. Silahkan kalau mau di intip hehe..


Share:

Kamis, 29 Desember 2016

Berislam di Inggris

Ketika mendengar kata Islam dan Inggris mungkin yang pertama kali terlintas di benak kita adalah Islamophobia, rasisme, susahnya beribadah, susahnya mendapat makanan halal dan hal-hal lain yang menyulitkan kita sebagai seorang Muslim. Namun hal tersebut tidak benar adanya. Pendapat ini bisa saja tidak objektif karena saya hanya tinggal di Inggris selama setahun dan hanya di kota Leeds saja. Meski pernah mengunjungi kota-kota lain selain Leeds, tetapi saya tidak berdomisili disana. Namun paling tidak, inilah yang saya rasakan selama tsetahun di Inggris. Suasana Islam di Inggris juga terasa jauh lebih kental dibandingkan dengan beberapa negara-negara lain di Eropa yang pernah saya kunjungi. Sekali lagi ini hanya pendapat personal saya ya, orang lain bisa saja berfikiran berbeda, hehe..



Hal ini jugalah yang akhirnya membuat saya jatuh cinta dengan Inggris. Selain alasan akademis, hal lain yang akhirnya membuat saya mantap memilih Inggris (eaaaa) adalah harmonisnya kehidupan Muslim disana. Muslim sudah lama menjadi bagian dari kehidupan orang Inggris. Keberadaan Islam di Inggris dibawa oleh imigran Muslim dari India, Bangladesh dan Pakistan semenjak abad ke 18 lalu. Selain itu, cahaya Islam juga di perkenalkan oleh pedagang, pengusaha dan cendekiawan Timur Tengah ke negeri Ratu Elizabeth itu. Hidup berdampingan selama beratus-ratus tahun lamanya, mungkin hal inilah yang membuat orang Inggris tak asing lagi dengan Islam. Berdasarkan laporan dari telegraph.co.uk, The Pew Forum on Religion and Public Life memperkirakan bahwa hingga saat ini ada sekitar 2.869.000 muslim di Inggris atau 4,6 persen dari total populasi. Meski angka ini masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah Muslim di Indonesia, namun percayalah bahwa di Inggris kita akan sangat mudah menemui Muslim berjenggot tebal di taman-taman. Kita juga akan sangat mudah bertemu Muslimah-Muslimah bercadar di pusat perbelanjaan. Jadi kata pertama yang terlintas di benak saya di hari-hari pertama menjalani kehidupan di Inggris adalah ... "Masha Allah, negara ini gemeesssh sekali.." Eh, nggak ding, waktu itu kata-kata "gemessh" belum booming kayaknya 😂

Intinya saya kagum sekali dengan keberagaman orang-orang Inggris dan bagaimana mereka menerima Muslim dengan sangat baik disana. Lalu bagaimana dengan hal-hal praktikal seperti tempat ibadah, makanan halal, waktu sholat dan lain sebagainya. Yuk kita bahas satu-satu.

1. Tempat Ibadah
Beberapa teman di Indonesia sempat terkejut saat saya menceritakan bahwa kita juga dapa menemui Masjid-Masjid besar di Inggris. Di Leeds, misalnya, terdapat tiga Masjid besar di kota itu. Salah satu Masjid yang paling dekat dari tempat tinggal saya adalah Leeds Grand Mosque. Masjid ini selalu ramai saat waktu sholat tiba. Selain sebagai temat ibadah, ia juga menjadi pusat kajian Islam. Di sore hari, sering diadakan kegiatan pengajian, talkshow keislaman, belajar Al-Qur'an, kegiatan amal, dan lain sebagainya. Canggihnya, semua kegiatan Masjid bisa di aksis di webiste Masjidnya. Masjid disini benar-benar tersas hidup. 


Copyright www.leedsgrandmosque.com

Copyright www.bilalmasjid.org.uk

Tak jarang Masjid-Masjid disini dikunjungi oleh warga lain yang beraga Non-Muslim. Mereka biasanya datang bersama institusi tempat mereka bekerja. Beberapa juga datang dengan inisiatif sendiri, mungkin ia ingin mengenal Islam lebih dekat. Pernah suatu hari saat sholat tarawih Ramadhan lalu, seorang bule blonde datang ke Masjid bersama seorng temannya yang Muslim. Ia terlihat ikut memakai penutup kepala. Agaknya itu syal musim dingin yang ia jadikan selendang. Selama jamaah sholat, ia duduk memperhatikan dari belakang. Setelah sholat selesai, ia kembali bergabung dengan jamaah lain dan terlihat mengobrol bersama. Semoga Allah sampaikan cahaya hidayah itu ke hatinya :')

Di Inggris juga ada hari dimana Masjid sengaja dibuka untuk umum. Nama acaranya adalah #VisitMyMosque. Selain untuk syiar, acara ini dibuat untuk untuk menjawab secara langsung persepsi negatif tentang Muslim dan Islam. Tak hanya itu, sekolah-sekolah biasanya juga mengadakan kunjungan ke tempat-tempat ibadah umat beragama di Inggris, termasuk juga Masjid. Dan pengurus Masjid akan sangat senang sekali bercerita saat teman-teman kecil ini datang berkunjung. Sifat terbuka masyarakat Muslim Inggris inilah yang kiranya membuat Islam tumbuh sangat pesat di negeri ini 😊

Selain Masjid-Masjid besar di kota, tempat ibadah juga bisa ditemukan di kampus. Di kampus saya misalnya, ada mushalla kecil bernama Green Room. Letaknya tak jauh  dari kelas belajar. Jadi ketika ada break kuliah, para mahasiswa Muslim bisa sholat disana. Selain itu, beberapa perpustakaan kampus juga menyediakan praying room. Jadi tak usah khawatir mencari tempat sholat di kampus. 


Copyright (Islamic Society Website)
Akan tetapi, saat berkunjung ke kota lain yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya, kadang kita akan terkendala dalam mencari tempat ibadah ini. Selain tempatnya yang asing, kalaupun ada, kadang jaraknya sangat jauh dari pusat kota. Disaaat-saat clueless seperti inilah kita harus memutar otak mencari tempat sholat. Jika sedang berada di museum atau art gallery, jangan segan untuk bertanya kepada petugas disana. Tak jarang mereka membukakan sebuah ruangan khusus dan mengizinkan kita untuk sholat disana. Bahkan seorang teman pernah dibukakan sebuah kamar hotel kosong khusus untuk mereka sholat disana. Di beberapa tempat seperti bandara dan mall juga sering disediakan "quiet room atau multifaith room" yang bisa digunakan oleh semua umat beragam untuk beribadah. Trinity Leeds, sebuah mall besar di Kota Leeds, juga memilikinya. Tetapi kebanyakn yang beribdaha disini adalah umat Muslim.

Quiet room di Trinity Mall Leeds

Namun demikan, tak jarang kita harus sholat di taman-taman terbuka, di atas bebatuan (jika sedang hiking misalnya), atau didalam bus/kerata jika sedang dalam perjalanan. Inilah salah satu tantangan menjadi minoritas. Ruang ibadah tak sebanyak jika kita berada di negara yang jumlah Muslimnya adalah mayoritas. Namun disitulah kecintaan kita pada-Nya diuji. Mampukan kita tetap mematuhi perintah-Nya saat sholat lima waktu menjadi sesuatu yang harus sangat "diupayakan''? :)

Sholat di taman :)


2. Makanan Halal
Sebagai negara dengan jumlah Muslim yang tidak sedikit, tentu tak begitu sulit untuk mencari makanan halal di kota ini. Misalnya, di depan University of Leeds, berjejer banyak sekali restoran halal yang dijual oleh babang-babang Pakistan, India atau Arab. Harganya pun cenderung lebih murah dibanding restoran-restoran British. Salah satu favorit saya adalah peri-peri grilled chicken di restoran Charcos ini. Letaknya persis di depan Parkinson building, iconnya University of Leeds. Salad disini juga enak dan segar sekali. Ya Allah ini nulisnya sambil ngileeer 😂
Ohya, jika sedang bepergian ke kota lain, kita tinggal search "Halal restaurant" di google dan nanti akan keluar banyak pilihan disana. 



Charcos restaurant
Jika ingin memasak sendiri, kita juga bisa dengan mudah menemukan halal butcher di supermarket atau toko babang-babang Arab (all hail to babang Arab, mereka banyak sekali jasanya 😂). Di Supermarket Morrisons di Leeds, misalnya, pojok halal butcher ini bisa dengan mudah ditemukan di antara rak bahan mentah lainnya. Label halalnya pun langsung dikeluarkan badan sertifikasi yang resmi seperti oleh Halal Food Authority.

Bagaimana dengan jajanan sehari-hari seperti makanan kemasan? Sebagai negara yang sangat peduli dengan kepuasan (dan keselamatn konsumen), semua produk makanan di Inggris dilengkapi dengan ingredients. Disana kita bisa melihat apa saja yang terkandung dalam makanan tersebut. Selain itu, kita juga bisa mengecek label vegetariannya. Jika ditemukan label "suitable for vegetarian", kemungkinan besar makanan itu aman (aman dari minyak atau gelatin babi). Namun, kita tetap harus berhati-hati. Coba cek juga apakah ada kandungan alkohol didalamnya. Teringat dulu saya sudah ingin sekali beli cheese cake, ada vegetarian checknya eh tetapi ternyata ada alkoholnya juga. Penonton kecewa.. 😅⁠⁠⁠⁠

Jika makan di restaurant, untuk menu ayam atau daging, kita bisa menanyakan apakah dagingnya halal atau tidak. Kemudian kita juga bisa minta tolong pelayan untuk mengecek bahan pembuat makanan tersebut. Ingat dulu saya pernah ingin beli sushi, terus ragu ada kandungan alkoholnya (anak parnoan, hihi). Pelayanannya dengan sigap mencari buku resep dan mengecek apakah ada campuran alkokhal di nasi sushi tersebut. Karena tidak yakin mengecek sendiri, ia pun menanyakan managernya untuk meyakinkan. Dia benar-benar ingin memastikan bahwa makanan tersebut bebes alkohol (saya terharuuu..)

Jangan takut untuk menanyakan hal-hal seperti ini saat makan di restoran di Inggris, mereka selalu siap sedia buku resep di lemari mereke. Jadi jangan sungkan-sungkan. 😃


3. Kehidupan Sehari-hari
Alhamdulillah selama setahun di Inggris saya tidak pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenagkan hanya karena saya seorang Muslimah dan berhijab. Apalagi hijabnya segede taplak meja gini 😆  Mereka sangat menghargai identitas kita sebagai Muslim. Sebagian besar malah bertanya tentang apa itu Islam, kenapa harus sholat, dan kenapa kita harus puasa. Disinilah kesempatan kita untuk memperkenalkan Islam lebih luas. This is our chance to be the agent of Muslim. Di dalam kelas pun tidak ada perlakuan yang berbeda. Mereka tidak melihat hijab kita, namun melihat apa yang ada dibalik hijab kita.. :) Meski ada beberapa hal yang kurang mengenakkan, apalagi kalau lagi ada kejadian seperti saat bom Paris, memang kondisi akan menjadi sedikti tegang. Namun hal ini biasanya tidak berlangsung lama. 

Lalu bagaiman hubungan kita dengan Muslim dari negara lain? Mungkin karena sama-sama minoritas, hungan sesama Muslim sangat akrab disini. Jika beretemu di jalanan, bisanya kami saling membagi senyum dan mengucap salam. Ukhuwah itu benar-benar terasa disana. Pada saat Ramahdan pun, Masjid di Inggris selalu rami dipenuhi Muslim dari berbagai negara. Mulai dari berbagi ta'jil sampai sholat tarawih bersama. Semakin ke penghujung Ramadhan, malah semakin rame. Bahkan saya pernah melihat jamaahnya membludak sampai keluar Masid. Padahal waktu itu summer. Sholat Isya baru dimulai pukul 10.30 malam dan berakgir pukul 12 malam. Tapi orang-orang sangat semangat sholat ke Masjid. Masha Allah, haru sekali melihatnya 😭

Jadi kesimpulannya, bagi teman-teman yang punya mimpi untuk ke Inggris, jangan takut. InsyaAllah Inggris adalah negara yang ramah Muslim. Jikapun ada kendala yang akan dihadapi, semoga hal tersebut membuat kita semakin dekat dengan-Nya dan semakin bersyukur akan segala kemudahan-kemudah yang selama ini telah Ia berikan kepada kita. InsyaAllah ketika Allah beri kita rezeki untuk belajar atau tinggal di sebuah tempat, meski Muslim menjadi minoritas, berarti Allah yakin bahwa kita sanggup untuk menjalaninya. 

"Allah does not burden a soul beyond that it can bear.." - QS. Al-Baqara: 286

Semangat! 😇
Share:

Rabu, 21 Desember 2016

Even If #1

Pagi itu Lana dibuat jatuh cinta lagi untuk yang kesekian kalinya. Lagi dan lagi untuk hal yang sama. Matanya tak berkedip sedikit pun ketika menyaksikan bongkahan-bongkahan putih itu kembali turun. Bulir-bulir salju terlihat turun meliuk-liuk hingga jatuh menyentuh tanah. Musim gugur baru saja usai. Dari kejauhan terlihat pemandangan ranting-ranting pohon tak berdaun. Di sisi jalan terlihat masih banyak daun-daun kuning kecoklatan yang berserakan. Musim gugur seperti enggan untuk benar-benar pergi dari para pengagumnya. Ya, Lana loves autumn but she loves winter more.

Entah sudah berapa kali salju turun di musim dingin kali ini, namun bahagia yang dirasakannya tak berubah. Kagumnya masih sama. Perlahan ia mendekat ke arah jendela dengan secangkir teh hangat di tangannya. Kedua telapak tangannya sesekali melingkari sisi cangkir, mencoba mentransfer hangatnya teh twinnings yang diseduhnya ke sela-sela jemarinya. Ia diam dan kehabisan kata. "Ya Allah, indah sekali", gumamnya dalam hati. Lalu kembali hanyut dalam diam. 



Hari ini Lana harus berangkat ke Conwy, sebuah kota kecil di pantai utara Wales, untuk survey data collection-nya di sebuah sekolah di sana. Conwy terkenal dengan penduduknya yang ramah. Ukuran rumah-rumah disana relatif lebih mungil dibanding rumah-rumah di kota besar. Kota ini dikelilingi oleh bukit. Namun, jika berjalan sedikit ke arah utara, dengan mudah kita akan bertemu dengan pantai. Wales juga terkenal dengan castle-castlenya yang unik. Mungkin nenek moyang pangeran Charles dulu tinggal disana sebelum hijrah ke Windsor castle di London. Castle-castle tua itu sekarang terbuka untuk umum. Dari atas castle orang-orang bisa melihat pemandangan Conwy yang indah. Sesekali akan terlihat kereta api berjalan membelah perbukitan. Conwy benar-benar terlihat seperti negeri dongeng. Suasananya tenang, kotanyanya bersih. Hal inilah yang membuat Lana selalu ingin balik ke Conwy.

Entah kenapa ia sangat tertarik dengan kehidupan masyarakat di kota kecil, terlebih kehidupan sosial anak-anaknya. Ia percaya bahwa selalu ada hal menarik yang bisa ditemukan tentang kehidupan di kota kecil, hal yang takkan pernah  ditemui di kota-kota metropolitan seperti Manchester atau London. Selain itu, jika kehidupan kota besar terbilang cukup dinamik karena penduduknya yang multikultural, kota-kota kecil di Inggris masih dihuni oleh penduduk lokal. Menurutnya, hal ini juga sangat menarik untuk dipelajari.

***

Penunjuk arah google map memprediksi bahwa butuh waktu sekitar empat jam untuk Lana bisa sampai ke Conwy. Namun waktu tersebut adalah estimimasi normal, diluar perhitungan macet dan perubahan waktu jika kecepatan bus harus diturunkan akibat jalanan yang bersalju. Dilihatnya waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, namun bulir-bulir salju di luar sana terlihat tak ingin berhenti turun. Sebaliknya, gumpalan gulali putih itu justru terlihat semakin tebal. Atap-atap rumah sekarang terlihat seperti cookies yang ditaburi tepung gula putih diatasnya. Matahari juga tampak enggan menampakkan dirinya. Ia seolah ingin memberi ruang untuk orang-orang semakin larut dalam suasana winter yang dingin dan sendu itu. 

"Kalau di Indo terang kayak gini tuh kayak masih jam enam pagi ya, Lan", sapa Syila mengangetkan Lana. 
"Eh, iya Syi. Masih sendu banget ya langitnya, jadi mager mau jalan keluar", jawab Lana tersenyum.
"Yakin tetap mau berangkat ke Conwy, Lan? Tebel banget loh saljunya" 
"Iya, gak papa kok.." balas Lana.
"Beneraan..? heater Megabus suka gak nyala lo. Bisa beku nanti di jalan", goda Syila.

Lana sontak terbahak.

"Hahaha kesel. Disini kita kudu jadi cewek harus setrong, Syi. Gampang, ntar tinggal bawa coat tebel sama gloves lah.."

Syila pun ikut tertawa. Ya, mereka sudah faham betul dengan segala kemungkinan yang terjadi jika menumpangi bus hemat biaya kecintaan rakyat muda Britania itu.

"Biasanya kalau cuaca lagi kayak gini busnya suka reschedule, belum lagi kamu harus transfer di Chester. Bisa-bisa nyampe Conwynya malem, Lan. Yakin aman?", ucap Syila kembali memastikan.

"Insya Allah gak papa.. Ntar nyampe bus stationnya aku tinggal nguber terus langsung ke hostel. Tenang aja Bu Syila Aisya Ahmad.." jawab Lana sambil tersenyum.

***

Seperti biasa, Lana memilih duduk di window seat dalam perjalanannya menuju Wales kali ini. Ia semakin menikmati perjalanan ketika deretan lagu-lagu Tulus mulai mengalun indah dari balik earphone kesayangannya, beats berwarna rose gold pemberian syila saat ulang tahunnya dua bulan yang lalu. Syila really knows her best!

Benar saja, selama perjalanan heater busnya sering kali tidak bekerja. Beberapa kali Lana melawan dingin dengan membetulkan letak syal coklat muda yang melingkar di lehernya. Namun, rasa dingin yang sering kali menyeruak itu tak membuat Lana berhenti berdecak kagum atas apa yang Allah sudah suguhkan di depan matanya sepanjang perjalanan. Ia benar-benar sangat menikmati perjalanannya kali ini. Ia cinta salju dan cintanya selalu sama seperti saat pertama kali bertemu.

"We will shortly be arriving at Chester .....", suara driver terdengar sayup-sayup memberi aba-aba kepada penumpang. Tak lebih dari tiga menit setelah itu bus sampai di Chester. Lana harus turun dan menunggu empat puluh menit sampai bus melanjutkan perjalanan ke Conwy. Di bus station ia mencari praying room dan beristirahat sejanak disana. Selesai sholat, ia menelfon Syila dan memberi tahu bahwa ia sudah sampai di Chester. 

"Syi, Alhamdulillah aku udah nyampe Chester nih. Bentar lagi lanjut ke Conwy. Nanti aku kabarin lagi yaa. Hati-hati dirumah.."

Lalu tiba-tiba..

"Hi, orang Indonesia juga yaaa?", sapa seseorang dari arah belakang.
Lana menolah ke arah suara dan mendapati seorang laki-laki berdiri dibelakangnya.
"Eh, hi, iyaa.. dari Indonesia..", jawabnya sedikit terbata.
"Sekolah disini?" tanya laki-laki itu.
"Iyaaa, lagi ambil master.."

"Alana..", ucapnya sambil menyodorkan tangan kanannya.

Seketika lelaki itu membalas dengan mengatupkan kedua telapak tangan di dadanya.

"Zidan.."

"Oh, maaf..", respon Lana sambil buru-buru menarik tangannya kembali.

"That's okey..." balas Zidan ramah. 

Bersambung...


Share:

Kamis, 10 November 2016

Bahagianya Memperjuangkan Mimpi (Part.1)

Kata orang, beasiswa luar negeri itu milik dua kategori orang. Kategori pertama yaitu mereka yang “pinter banget” dan yang kedua yaitu mereka yang “pengen banget”. Dan saya sadar bahwa sepertinya saya adalah orang-orang di kategori ke dua ini, hihi. Keinginan untuk melanjutkan studi di negeri Ratu Elizabeth itu telah ada semenjak saya berada di semester enam bangku perkuliahan sarjana. Ya, jauh sebelum saya tahu kapan saya akan menyelesaikan studi sarjana. Keinginan itu benar-benar terasa seperti mesin pemacu yang membuat saya semakin semangat untuk menjalani perkuliahan.

Hasil terbaik hanya lahir dari usaha terbaik. Keyakinan itulah yang selalu saya pegang selama menjalani proses mengejar mimpi ini.  Dari awal semester enam itu saya sudah mulai mencari informasi kampus dan jurusan dengan browsing di mesin pencari informasi super canggih, Google. Semua informasi yang dibutuhkan bisa dengan mudah di dapatkan di website kampus. Hal selanjutnya yang saya lakukan adalah "pedekate" dengan pihak admisi kampus yang ingin saya tuju. Ini sebenarnya modus, hehee. Niat utama saya mengirimkan email kepada mereka sebenarnya hanya ingin merasakan langsung bagaimana rasanya email-emailan dengan kampus luar negeri. Dan tahukah, ketika mendapat balasan langsung dari kampus dengan alamat atau logo kampus di bagian akhir emailnya, rasanya luar biasa. Rasanya lebih excited daripada menerima surat cinta apapun (emang pernah? wkwk). Setiap email yang dibalas selalu saya capture dan saya lihat berulang-ulang. Rasanya excited setiap kali melihat kalau emailnya dikirim langsung dari Inggris, dibalas oleh orang Inggris. Paling tidak nama saya pernah di ketik di Inggris sana :')) Alasannya sederhana, agar mimpi itu tetap hidup. Agar Inggris itu terasa semakin dekat.



Berikut adalah beberapa email yang saya kirimkan ke beberapa kampus yang ada di UK. Semua informasi ini sebenarnya sudah ada di website, tetapi tetap saja saya tanyakan. Namanya juga modus, heheh. 

University of Glasgow


Newcastle University



Email yg tadinya dikirm ke Leeds, di copast lalu di kirim ke York. Dan nama kampusnya lupa di edit, hahahha >.<


University of Leeds yang akhirnya berjodoh dengan saya :')

Selain mencari tau informasi melalui website dan email, saya juga menjaga mimpi itu dengan menonton video kampus-kampus tersebut di youtube dan "pedekate" dengan mahasiswa Indonesia yang sudah terlebih dahulu bersekolah disana. Namun ingat, biasakan untuk membaca dulu sebelum bertanya. Tanyakanlah hal yang sifatnya subjektif saja, hal yang memang butuh pendapat orang lain untuk menjawabnya. Misal, kehidupan akademis disana bagaimana? Suasana belajar disana bagaimana? Usahakan untuk tidak membuat kakak-kakaknya gregetan menanyakan hal-hal yang jawabannya sudah pasti bisa ditemukan di website, hihi. Seperti syarat dokumennya apa saja? Butuh IETLS atau tidak? Deadline pendaftarannya kapan? Semua jawabannya ada di website kampus. Perlihatkan kalau kita benar-benar niat dengan research terlebih dahulu sebelum bertanya. Kalau mau tanya ke admission tak apa, karena memang tugas mereka untuk menjelaskan hal-hal tersebut, heheh..

Setelah selesai dengan pengumpulan informasi, hal selanjutnya yang lakukan adalah mempersiapkan syarat bahasa berupa IELTS. Part ini tak kalah dramanya. Di sela-sela pengerjaan skripsi, saya dan teman-teman membuat kelompok belajar IELTS bersama. Meskipun kami kuliah di jurusan Bahasa Inggris, namun tidak ada jaminan bahwa skor IELTS kami pasti bagus. Tetap butuh waktu agar kami kami terbiasa dengan bentuk soal-soalnya dan tau strategi menyelesaikannya dengan waktu yang sangat terbatas itu. Kelompok belajar yang tadinya ramai, karena kesibukan yang berbeda-beda, perlahan mundur satu-satu hingga akhirnya saya sendiri yang tertinggal. Jujur, berat rasanya ketika harus berjuang sendiri. Terlebih saat itu studi ke luar negeri belum terlalu populer di tempat saya. Sebagian orang bahkan melihat apa yang saya lakukan itu adalah hal yang sangat muluk-muluk. Kuliah ke luar negeri itu bagai punguk merindukan bulan. Namun perjuangan sudah setengah jalan dan bagi saya, pantang meninggalkan sesuatu yang sudah di mulai itu terbengkalai begitu saja. Saya juga berusaha menguat-nguatkan hati agar tak terlalu terpengaruh dengan komentar orang. Saya yakin bahwa itu semua adalah bumbu-bumbu ujian dari Allah agar jalan ikhtiar ini terasa semakin nikmat ^_^

Beberapa bulan mempersiapkan IELTS, saya mulai mencoba mengirimkan aplikasi pendaftaran melalu portal pendaftaran online yang ada di website kampus. Jadi tahapan awalnya kita membuat akun dulu, sama dengan membuat akun facebook atau sosmed lainnya. Laman berikut ini bisa ditemui di website resmi Uni of Leeds atau dengan mengetik keywords "Apply University of Leeds" di Google. 
Contoh portal pendaftaran di University of Leeds

Setelah membuat akun, kita akan menerima email konfirmasi dari pihak admisinya. Kemudian, langkah selanjutnya adalah mengisi form biodata dan meng-upload dokumen yang dibutuhkan secara online seperti ijazah dan transkrip nilai yang sudah di terjemahkan, surat rekomendasi dan personal statement/motivation letter Proses pengisian aplikasi ini bersifat fleksibel, jadi akun bisa di log out kemudian log in kapan pun kita mau. Proses pengisian aplikasinya bisa bertahap. Ohya, rata-rata aplikasi kampus di Inggris bebas biaya administrasi. Jadi kalau kita ingin mendaftar di lebih dari saatu kampus pun tak masalah, hehe. Hal lain yang membuat pendftaran kampus-kampus di UK menarik adalah waktu pendaftarannya yang sangat fleksibel. Jadi kita bisa mengirimkan aplikasi sepanjang tahun, biasanya sampai dua bulan sebelum intake (yang rata-rata bulan September). Proses pendaftaran ini juga bisa dilakukan tanpa mengantongi sertifikat IELTS terlebih dahulu. Biasanya, jika kita mendaftar tanpa sertifikat IELTS, surat tanda terima yang kita terima berupa Conditional Letter of Acceptence (bersyarat). Ini akan berubah menjadi Unconditional Letter of Acceptence (tidak bersyarat) saat semua berkas yang dibutuhkan sudah kita lengkapi. 

Lalu berapa persenkan kemungkinan aplikasi kita kan di terima? Jika syarat nilai kita sampai, skor bahasa kita mencukupi, surat rekomendasi kita jelas dan motivation letter kita bagus, pihak admisi akan bermurah hati untuk memberikan LoA. Dari beberapa kampus yang saya cari tahu, pilihannya tetap jatuh kepada pilihan pertama, University of Leeds. Namun untuk jaga-jaga saya tetap mendaftar di kampus lain, yaitu Newcastle Uni. Alasan kenapa saya jatuh cinta dengan University of Leeds ada di postingn berikut berikut. Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya saya dikabari oleh pihak kampus. Kampus pertama yang mengabari saya adalah University of Leeds. Melihat subject email yang ada di layar handphone, jantung saya mau copot rasanya. Jemari saya tiba-tiba basah oleh keringat dingin, badan saya panas dingin. Saya deg-degan bukan main. Perlahan saya buka email tersebut, membacanya pelan-pelan hingga mata saya terhenti di sebuah kalimat bertuliskan "Dear Ms. Nesha, we are pleased to offer you a place ......" Alhamdulillah, saya lulus. Seketika saya rasakan mata saya panas, ada bulir-bulir yang tertahan ingin tumpah. Allah Maha Baik. Meskipun masih bersifat conditional namun saya sangat bersyukur. Bayang-bayang negeri Ratu Elizabeth itu terasa semakin dekat. 

"Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu." - Andrea Hirata

Perjuangan belum selesai sampai disini, saya masih harus tes IELTS dan berburu beasiswa LPDP yang tak kalah drama, hehee..

To be continued,
=))

Share: