Rabu, 16 April 2014

Bebaskan Pendidikan di Indonesia dari Sekulerisme

Sejatinya malam ini saya memutuskan untuk tidur lebih awal karena kegiatan sehari ini cukup menguras energi. Namun ketika sudah siap-siap untuk tidur, mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur, tangan saya rasanya geli pengen ngetik. Ide di kepala saya rasanya memberontak untuk segera dikeluarkan. Saya merasa perlu untuk segera menulis. Takut-takut kalau di tunda lagi nantinya malah lupa.

Jadi gini, kemaren di sebuah seleksi yang diadakan oleh pihak universitas saya menyajikan sebuah karya tulis yang membahas dampak globalisasi terhadap pendidikan. Salah satu dampak yang saya kemukakan adalah adanya paham sekulerisme yang mulai merasuk ke dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini sangat berhubungan denagn topik yang say an teman-teman #IndonesiaTanpaJIL Chapter Padang bahas pada kopdar hari Minggu lalu. Dengan sangat menggebu-gebu saya pun menjelaskan bahwa ketika perkara agama dan perkara dunia benar-benar di pisah maka akan berbahaya.  Alasan dari diikutinya paham sekuler ini adalah untuk memaksimalkan masing-masingnya dengan mendikotomi sekolah umum dan sekolah agama.   Ya, mungkin saja kebijakan ini akan mengahasilkan beberapa ilmuan handal namun mereka tidak paham agama, mereka tak tahu norma. Di lain sisi, bisa jadi kebijakan ini akan melahirkan para individu yang faham agama namun mereka gagap teknologi. Disini saya tidak bermaksud menjeneralisasikan, akan tetapi tak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini memang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah salah satu bentuk nyata dari dampak sekulerisme yang digiring oleh kencangnya arus globalisasi ke dalam dunia pendidkan saat ini.

Nah, yang namanya presentasi (red: ujian) karya tulis pasti akan ada penguji toh? Para penguji inilah yang nantinya akan “mempertanyakan” tulisan saya. Dalam hal ini saya diuji oleh empat orang penguji dengan satu pertanyaan (panjang) dari masing-masing penguji. Alhamdulillah satu per satu pertanyaan bisa saya jawab dengan lancar hingga akhirnya sampailah saya pada sebuah pertanyaan yang bikin saya gregetan. Pertanyaan yang bikin saya pengen garuk-garuk tembok saking gregetannya. Pertanyaan yang sering saya dengar diluar saat “guyon” masalah sekulerisme dan pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan oleh dosen penguji di sesi presentasi Bahasa Inggris di ruangan sebelumnya. Tapi tetap saja ketika pertanyaan ini muncul saya selalu meras belum bisa menjawabnya dengan sempurna. Pertanyaannya adalah:

Saudara Nesha, seperti yang kita ketahui bahwa paham sekulerisme yang dianut oleh negara-negara barat bahkan membuat negara mereka menjadi semakin maju. Ditanya masalah moral, mereka pun terlihat jauh lebih bermoral dan lebih toleran dibanding kita orang Indonesia yang beragama ini. Mereka mau menjaga kebersihan tempat-tempat umum, mereka segan kalau merokok ditempat umum, dsb. Bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut..?

Tuinggg.. Yap, saya  ditanya ginian lagi. Ini common sense sih tapi tetap aja susah ngejelasinnya. Paling tidak saya butuh sedikit waktu untuk berfikir dan merangkai kata agar jawaban saya bisa “ngena”. Agar maksud saya untuk menyatakan bahwa Indonesia tak harus ikut-ikutan sekuler untuk bisa terlihat sejajar dengan negara barat bisa tersampaikan dengan baik.

Maka jawaban saya untuk pertanyaan di atas adalah:

Iya, mereka maju dalam hal teknologi dan inovasi lainnya namun yakinlah mereka belum benar-benar maju dalam hal pemikiran. Fikiran mereka cenderung sempit, hati mereka baku, mereka mati rasa. Ada kalanya juga mereka tak mampu lagi berfikir jernih dalam keadaan terdesak karena koneksi vertikal mereka dengan Sang Pemilik ilmu pengetahuan tersebut sudah mereka putus dari awal. Mereka meninggalkan Tuhannya begitu saja. Kita sebagai negara yang menjunjung tinggi Pancasila sebagai pilar negara tentu tak bisa seperti itu. Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebuah pengakuan mendasar agar  kita selalu melibatkan Agama dan Allah dalam setiap kegiatan kita. Termasuk dalam hal menuntut ilmu tentunya. Untuk pertanyaan moral dan toleransi saya cuma manut-manut aja. Karna waktunya habis dan saya juga bingung mau ngejawab dari mana. Poor me..

Itu adalah jawaban saya di sesi Bahasa Inggris.. nyesek rasanya karena cuma bisa jawab sedangkal itu saja. Sesempainya diluar rungan saya langsung nelfon Kak nurul, kakak keren saya di dunia nyata dan dunia maya, saya “ngadu” dan nanya nanti kalo di sesi kedua saya ditanya masalah itu lagi saya harus jawab apa?
Dan ini jawaban saya di sesi kedua, setelah mendapatkan “suntikan” ilmu dari Kak Nu.. :’)

Mereka tidak benar-benar maju, Pak. *Gak tau kenapa tiba-tiba berani nge-claim gitu aja*Dan iya mereka memiliki rasa toleransi yang tinggi tapi apakah benar-benar begitu adanya? Sebatas manakah toleransi mereka? Saat saudara-saudara kita di Syria di bombardir dengan senjata pemusnah masal mereka kemana? Saat legitimasi warga Mesir di khianati mereka kemana, Pak? Katanya masyarakat modern yang toleran dan menjunjung tinggi demokrasi tapi kok diam-diam saja? *Saya mulai emoseeeehh*  Ketika orangtua mereka menua maka dengan mudahnya saja mereka menitipkan orangtua mereka di panti jompo.. Itu artinya apa?  Pada intinya, saya tetap menolak sekulerisme di tatanan Pendidikan di Indonesia. Agama dan pengetahuan umum harus berajalan beriringan. Keduanya harus saling melengkapi. Orang yang punya kemampuan lebih dalam bidang teknologi dan logika berhitung akan mudah saja mengaplikasikan ilmunya untuk meng-hack rekening-rekening besar atau menyadap beberapa data penting karena mereka tidak punya koridor agama yang akan mengontrol mereka. Banyak orang-orang pintar di Jepang yang pada akhirnya mengakhiri hidup mereka dengan harakiri karena mereka tidak punya agama. Mereka tidak punya “tempat kembali” ketika ada masalah. Mereka tidak punya “tempat mengadu” untuk meluapkan rasa. It’s so pathetic..

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa seharusnya saya bisa menjawabnya secara lebih kompleks lagi. Saya merasa perlu untuk belajar lebih lagi tentang hal ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan selalu kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Jika tak pandai-pandai menjawab maka pada akhirnya masyarakat akan meng-amin-kan bahwa tak ada masalah dengan sekulerisme. Lebih parah lagi jika dengan jawaban kita yang  tidak begitu meyakinkan maka masyarakat akan berpendapat bahwa sekulerisme itu bagus dan patut ditiru. Naudzubillah..

So that, I bravely say that I against secularism and will always do. Pendidkan di Indonesia harus diselamatkan dari Sekulerisme. Dan yang akan menyelamatkan itu adalah kita, anak muda.  Saya merasa beruntung bisa menjadi bagian dari #IndonesiaTanpaJIL Chapter Padang (meski belum aktif-aktif banget :3) dan semoga bisa terus belajar dengan teman-teman keren disana. Yuk sama-sama belajar dan lakukan sesuatu untuk negara dan agama kita. Mulai dari yang sederhana dulu, misalnya kayak gabung di #ITJ gitu, *hhee tetep promosi*. Karena kalau bukan kita, siapa lagi? :D


Rabu, 16 April 2014
23:59 WIB
#IndonesiaTanpaJIL




Share: