Sabtu, 19 Mei 2018

Sehari di Spanyol, Menyaksikan Bukti Kejayaan Islam di Kota Granada

Subuh itu kami meninggalkan kota Paris yang masih terlelap dengan perasaan campur aduk. Sedih karena harus meninggalkan Paris dengan segala keanggunannya namun tak sabar untuk segera sampai di Spanyol, negara yang selama ini hanya ada di dalam angan namun benar-benar akan kukunjungi dalam hitungan jam. Allah selalu punya cara yang ajaib dalam memeluk mimpi hamba-hambaNya. 

Bus membawa kami menjauh dari kota Paris menuju sebuah bandara kecil di pinggir kota. Matahari baru terbit saat kami sampai di bandara namun bandara sudah sangat ramai. Nampaknya rasa kantuk tak menghalangi orang-orang untuk melakukan perjalanan pagi itu. Boarding pass sudah ditangan namun gate keberangkatan masih belum dibuka. Sambil merentang waktu, aku dan travel buddy-ku Sekar duduk disebuah cafe kecil di bandara dan memesan segelas teh panas dan sepotong roti croissant. Aku masih ingat bagaimana gurih dan hangatnya roti croissant yang kumakan kala itu. Paris benar-benar tau bagaimana memberikan kesan akhir yang manis kepada setiap pengunjungnya. 
Selang beberapa menit, petugas bandara memanggil dan kami kearah gerbang pintu keberangkatan. Kami mempercepat langkah, tak sabar rasanya untuk sampai ke pesawat yang akan menerbangkan kami jauh ke bumi Andalusia itu. Bumi dimana Islam pernah menjadi cahaya yang paling terang benderang ribuan tahun lalu disana. Gelapnya malam mulai berganti dengan cahaya matahari yang muncul dari sela sela sayap pesawat. Perlahan pesawat yang penuh terisi oleh wajah-wajah Eropa itu lepas landas dan tak terasa beberapa menit setelah itu terasa aku pun tertidur pulas. Aku excited namun fisikku sepertinya memang tak bisa bohong. Perjalanan dari Inggris, Belanda dan Prancis yang kami sikat hanya dalam waktu tiga hari ini membuatku badanku remuk. Aku mulai kelelahan but it still long long journey to go. Perjalanan masih panjang dan waktu-waktu diperjalanan seperti inilah yang selalu kucuri untuk beristirahat.

Perlahan pesawat menurunkan ketinggiannya dan aku yang baru bangun tidur pun terkagum-kagum melihat hamparan gurun dan pegunungan yang terpampang di depan mata. Itu daratan Spanyol, gumamku dalam hati. Semuanya sangat indah sejauh mata memandang. Jujur saja, pemandangannya sekilas terlihat seperti di Arab Saudi, bukan Eropa.

Pemandangan dibalik jendela sejauh mata memandang
Hari sudah menunjukkan pukul 10 saat kami mendarat di Málaga Airport. Sisa-sisa musim panas masih terasa sekali di negeri ini. Detik-detik saat berjalan keluar bandara adalah detik yang paling mendebarkan rasanya. Dalam hati aku bergumam "Assalamua'laikum Andalusia, aku datang." Sekilas cerita tentang kejayaan Islam dan kemajuan peradaban di masa lalu kembali berkelabat didalam memoriku. Sepenggal kisah tentang negeri terang benderang, tempat berkumpulnya para ilmuan dan cendekiawan dimasa itu. Kisah dinasti Islam terakhir yang mencoba bertahan dengan istana Al-Hambranya yang sering di ceritakan guru madrasahku dulu juga juga seketika terngiang-ngiang di telinga. Dan sekarang aku disini, di negeri yang dulu hanya bisa kudengar cerita kejayaannya tanpa pernah tau kapan aku akan mengunjunginya. 

Aku bersyukur, meski dari awal sudah memahami bahwa Andalusia yang kudatangi hari ini tidak akan sama dengan Andalusia yang kisahnya kubaca di buku-buku sejarah Islam dulu. Keadaannya sudah pasti akan sangat berbeda. Aku pun tak tahu apakah keping-keping kejayaan Islam itu masih terisisa. Aku tak berharap banyak, karena sudah bisa menginjakkan kaki disini saja aku sudah sangat bahagia dan ku yakin bahwa pasti ada "sesuatu" yang bisa kubawa pulang nantinya. Entah itu semangatnya, pesan toleransinya, keindahan alamnya, atau apapun itu. Ah, namun rasanya aku tak mau menebak-nebak. Biarlah apa yang kutemukan sehari kedepan disini menjadi rahasia. 

Kami masih harus menaiki bus sekitar tiga jam untuk sampai di destinasi pertama, Granada. Perjalanan dari Málaga ke Granada adalah salah satu perjalanan terindah yang pernah kulewati Siang itu aku dan Sekar mendapatkan bangku paling depan sehingga kami bisa dengan leluasa menyaksikan keindahan daratan negeri Andalusia ini. Entah kenapa aku senang sekali menyebutnya dengan Andalusia, bagitu nama itu magis sekali, meski sekarang orang-orang menyebutnya Spanyol atau Espana, aku tetap suka menyebutnya Andalusia.  
"Aku merasa seperti sedang Umroh.." ujarku pada Sekar
"Emang kamu udah pernah Umroh?" jawab sekar sambil tertawa
"Haha, belum.. tapi beneran, perjalanan ini rasanya beda. Itu kamu liat viewnya.." balasku sambil terus menatapi pemandangan indah didepan kami. 

View Málaga-Granada sejauh mata memandang. Indah sekali :')
Secara geografis letak Andalusia memang sudah dekat sekali dengan Maroko, Islam dibawa ke Andalusia juga dulu awalanya dari Maroko ini. Khalifahu Al-Walid dari Bani Umayyah pada masa itu melakukan ekspansi Islam keluar jazirah Arab hingga sampai ke Eropa. Mereka menyebrang dari Maroko, menyeberangi selat Gibraltar. Sesampainya di Spanyol, mereka perlahan menanamkan nilai-nilai Islam di negeri ini. Peradaban Islam di Spanyol ini kelak yang menjadi awal mula terjadinya gerakan renaissance (kebangkitan) yang sangat kuat pengaruhnya sehingga peradaban Eropa bisa maju seperti saat sekarang ini. Iya, se penting itu peran Andalusia ternyata. Maha Kuasa Allah, yang atas izinNya, Islam yang awalnya sesuatu yang asing perlahun bisa menjadi cahaya terang disini. 

Lamunanku buyar saat supir bus memutarkan radio berbahasa Spanyol sebagai teman perjalanan kami. Sesekali terdengar petikan gitar khas Spanyol dimainkan oleh para pemusik di balik radio. Petikan gitar yang menyadarkan bahwa masa kejayaan Islam itu telah habis, Spanyol hari ini sudah berbeda keadaannya. Semua sudah runtuh sejak ratusan tahun yang lalu. Semua telah berubah.

Bus memelankan lajunya pertanda kami sudah memasuki kota. Perjalanan tiga jam lebih dari Málaga ke Granada benar-benar tidak terasa. Aku yang biasanya tertidur diperjalanan, kali ini tidak. Kami sangat menikmati perjalanan ini. Perlahan bunyi mesin bus mengecil dan masuk kedalam terminal. Ya, kami sampai di Granada. "Muchas gracias!", kami turun dari bus sambil mengucapkan terimakasih kepada Bapak supir dengan bahasa Spanyol seadanya. 

-----

Kami melanjutkan perjalanan ke hostel dengan bus dalam kota. Aku dan Sekar menaruh barang, mandi, beres-beres kemudian bersiap melanjutkan perjalanan ke destinasi utama, Istana Al-Hambra. Menurut penuturan google map, istana tersebut bisa di tempuh dengan berjalan kaki dari hostel. Tapi sebelum itu, kami berniat untuk mencari makanan dulu sebelum menuju ke Istana. Aku dan Sekar merindukan masakan Asia karena selama di dua negara sebelumnya kebanyakan makan makanan Western yang sejujurnya kurang cocok di lidah Indonesia ini. Kami sadar diri mungkin agak susah untuk menemukan makanan Asia disini, tapi bukan berarti tidak mungkin. Tak lama berjalan, aku berteriak ke Sekar "Kar, look! Itu ada Thai Restorant.." mataku berbinar-binar kegirangan dan semakin bahagia ketika mendapati ada label halal di jendela retorannya. Alhamdulillah, Allah Maha Baik. Amazed rasanya bisa makan di resto berlogo halal karena setelah beberapa jam sampai, aku perhatikan kalau jumlah Muslimnya sangat sangat minim disini. Dan entah kenapa ada semacam harapan yang mengatakan bahwa "Islam masih ada disini..". Kami memesan padthai kemudian melebur dalam obrolan berasama si Mas penjaga mini resto itu.

"Are you a Muslim?" entah kenapa pertanyaan ini yang pertama kali keluar dari mulutku
"Oh, no.. no... but the owner yes, Muslim.." ujarnya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata
"You.. Muslim?", ia balik bertanya
"Yes, we are Muslim..", kami tersenyum
"Many.. many Muslim here, old time..", balasnya

Aku dan Sekar mencoba menabak nebak maksudnya. Mungkin ia ingin mengatakan bahwa dulu ada banyak Muslim disini. Sayang sekali kemampuan bahasa Spanyolku cupu, jika tidak mungkin kami bisa bercerita lebih banyak tentang sejarah tempat ini dengannya. Kami berbahasa Inggris, ia berbahasa Inggris campur Spanyol. Untung dulu waktu kecil aku suka menonton film Dora, jadi faham lah satu dua kata. Selebihnya kami berbicara dengan bahasa isyarat, termasuk saat kami menanyakan harus lewat mana jika ingin ke Istana Al-Hambra. Ia menunjuk-nunjuk ke sebuah arah, kami pun langsung faham arah mana yang ia maksud. Pulang-pulang kami di beri bonus minuman. Duh, baik sekali si Jose! Entah dia kasihan melihat kami yang seperti bocah hilang yang terpisah dari Ibunya, apapun alasan Jose, siang itu ia telah meninggal kesan baik tentang warga Spanyol yang ternyata tak sesombong yang di bayangkan. 

Kami melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan aku melihat sekelilingku, mana sisa sisa kejayaan Islam itu? Apa hanya satu restoran tadi yang tersisa? Bahkan aku tak melihat satu pun perempuan berjilbab disini. Masih lebih mending Inggris, negara tempatku bersekolah. Aku bisa menemukan perempuan berjilbab, lelaki berpeci, restoran halal  dan masjid dengan sangat mudah di setiap sudut kota disana. Kenapa disini tidak ada? Sepertinya sisa-sisa kejayaan Islam benar-benar telah musnah ditelan masa. Tak bersisa sedikitpun. Seketika ada perasaan "hilangan" menyelusup kedalam hatiku. 

Kami berjalan menapaki sisi-sisi kota sesuai arah yang diberitahu Jose tadi. Tak lama, kami melihat semacam angkutan umum yang ternyata disediakan untuk para turis yang ingin berkunjung ke Al-Hambra. Mobil seperti angkot dalam kota itu terseok-seok menyusuri jalanan yang mendaki. Sesekali mobil itu harus menepi karena harus berselisih dengan motor. Iya, jalanannya sesempit itu. Selang beberapa menit, aku melihat sebuah bangunan besar seperti benteng. Semakin mendekat, semakin jelas pula kegagahan benteng itu. Bangunan seperti benteng itulah yang ternyata Istana Al-hambra. Iya, itu Istana Al-hambra yang selama ini hanya ku lihat di buku-buku sejarah!

Image result for istana alhambra
Istana Al-Hambra, bukti kejayaan Islam di bumi Andalusia (from Yokoso Eropa)
Kami turun dari mobil. Aku terdiam, nafasku sesak. Bukan karena kelelahan, tapi karena haru yang perlahan menyeruak masuk ke rongga dada. Ah, Al-hambra. Itu Al-hambra.. Tak terasa kelopak mataku basah, seketika kepingan kisah tentang kejayaan Bani Umayyah itu kembali tergiang-ngiang dikepala. Aku bangga bahwa Islam dulu pernah menjadi episode terindah di peradaban disini, namun seketika perasaan bangga itu buyar, berganti dengan perasaan sedih karena kejayaan itu terpaksa berakhir dengan cara yang tragis. Aku kesal, aku kecewa, aku patah hati namun tinta sudah mengering. Sejarah telah tertulis. Islam hanya tinggal dongeng di negeri ini. 

Aku dan Sekar melangkahkan kaki masuk ke dalam palace. Petugas palace membatasi jumlah turis yang bisa masuk kesini untuk menjaga kenyamanan pengunjung. Beruntung Sekar sudah membeli tiket dari jauh-jauh hari. Sekar memang terbaik. Kami datang agak telat, tapi ternyata antrian untuk jadwal kami baru saja dimulai. Jadilah kami mengantri bersama turis yang lain. Aku ingat sekali bahwa disamping kami ada sepasang turis lanjut usia asal Australia yang ikut mengantri bersama aku dan Sekar. 
"Kalian dari mana?" tanya mereka ramah
"Kami asli Indonesia, tetapi sedang kuliah di Inggris" balasku dan Sekar  
"Wah.. jauh yaa. Kesini hanya untuk ini?" tanya si Bapak sambil menunjuk ke arah istana
Si Bapak tua itu kaget. Agaknya ia tak menyangka bahwa duo petite yang ada depannya datang jauh-jauh dari Inggris hanya untuk melihat gedung ini. Mungkin bagi Bapak itu ini hanya gedung bersejarah pada seperti kebanyakan, namun bagiku lebih dari itu. Ini sebuah bukti cinta yang melihatnya dari kejauhan saja sudah menggetarkan hati. 

tiket masuk ke istana
Aku harus mengakui bahwa antrian untuk masuk kedalam palace ini kurang lebih sama panjangnya dengan antrian masuke ke Museum Louvre. Seketika terbesit rasa haru "lagi" ketika melihat lautan manusia yang mengantri disekitarku. Mereka datang dari berbagai penjuru bumi dan rela mengantri demi menyaksikan langsung jejak kejayaan Islam ini. Aku takjub! Akhirnya sampai juga giliran tiket kami untuk di stempel. Kami datang di penghujung musim panas, jadi meskipun tiket kami terjadwal di pukul 18.30, kondisinya masih sangat terang benderang.

-----

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sore itu, dengan perasaan yang sulit dijelaskan, aku melangkahkan kaki masuk kedalam bangunan Istana Al-Hambra. Kemegahan dan nuansa Islamnya masih kental terasa. Inskripsi Islam dengan lafaz tauhid dan nama-nama Allah masih terlihat jelas terukir di dinding-dinding istana. Aku merinding membayangkan bagaimana ratusan tahun lalu, para sultan dan cendekiawan Islam mungkin sering berdiskusi di ruangan itu. Ruangan yang aku datangi sore itu mungkin dulu penuh dengan zikir dari para ilmuan-ilmuan itu. Iya, dinding dengan lafaz-lafaz Islam itu kini masih ada. Tapi hanya ukiran bisu nan berbedu. Tuannya sudah lama diusir dari sini. Langkah kaki kami lanjutkan sampai ke Nasrid Palace, salah satu bagian terindah di istana. Tak berbeda, kaligrafi dengan lafal islam pun masih penuh menghiasi tiap dindingnya. Namun sama, ukiran tinggal ukiran. Ia kosong tak bernyawa, hanya jadi hiasan dan tontonan. Bebeda dengan ratusan tahun yang lalu saat... ah, sudahlah. Aku tak kuat melanjutkannya. Hatiku remuk setiap kali mereka ulang cerita itu. 

kalimat tauhid yang masih terukir indah di dinding istana :'))
Kami berjalan menyusuri ruangan demi ruangan. Kali ini tak terelakkan, ingatanku melayang jauh pada kisah dimana Mohammad Boabdil, Sultan terakhir Granada saat itu, dengan penuh rasa kalah menyerahkan kunci Istana kepada Ratu Isabella dan Raja Ferdinand yang sudah mendesak masuk ke Istana. Mereka bersama pasukannya seperti tak akan bisa dikalahkan lagi. Maka Sultan Boabdil menyerah karena ia tau tak ada gunanya melawan karena kondisi istana yang saat itu juga sedang lemah. Kunci istana pun akhirnya diserahkan dengan syarat semua penduduk Granada harus dijamin keamanan beribadahnya, termasuk Islam. Awalnya Isabella dan Ferdinan menyanggupi. Namun sayang beribu sayang, 10 tahun setelah Granda takluk, Isabella dan Ferdinan mengingkari janjinya. Ia membaptis secara paksa seluruh rakyat Granada. Islam dan Yahudi tak boleh lagi tegak, semua rakyat harus beragama kristen. Sejak itu konflik dingin antar agama tak bisa dielakkan, padahal dulunya ketiga agama itu hidup damai berdampingan. 

Aku menarik nafas panjang.

Mengingat cerita diatas benar-benar membuat hatiku pilu. Aku sedih tapi ku tau yang dirasakan Sultan Boabdil dulu pasti lebih berat dari apa yang kurasakan hari ini. Pastilah tak mudah baginya menyerahkan istana beserta rakyatnya ketangan lawan. Tapi ia tak cukup berani melawan, maka kekalahan inilah bayarannya. Semua seperti mimpi buruk yang harus ia telan sebagai kenyataan. Dan yang ku tahu, kekalahan ini tak boleh terulang. 

Kami terus berjalan mengitari istana sampai akhirnya aku dan Sekar sampai di sebuah balkon yang menyuguhkan kami pemandangan yang sangat sangat indah. Desa Albayzin namanya, desa dengan penduduk Islam terbesar di masanya (bangsa Moors). Rumah-rumah bercat putih khas mediteranian ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Pohon-pohon cemara yang mengelilingi membuatnya terlihat lebih indah. Namun sayang sekali kami tak bisa berlama-lama disini. Kami harus beranjak pergi saat matahari juga mulai beranjak meninggalkan bumi Andalusia. 

Desa albayzin yang menyimpan sejuta sejarah

Kami menyaksikan senja dari atas istana, jingga yang perlahan muncul dari balik bukit Nevada membuat suasana istana terasa semakin sendu. Bagiku perjalanan ke Istana Al-Hambra hari iru bukan perjalanan biasa. Ia adalah perjalana jiwa menapaki sejarah panjang ratusan tahun lalu yang bersamanya tertinggal banyak pelajaran berharga. Perjalanan yang membuatku jatuh cinta lagi pada agamaku. Jatuh cinta yang untuknya aku ingin berjuang selalu. 

Senja di Al-hambra 
Hari mulai gelap dan kami harus bersiap pergi meninggalkan istana. Aku berjalan meninggalkan istana dengan perasaan seperti baru di recharged! Alhamdulillah, Allah Maha Baik mengizinkanku berjalan sejauh ini. Padahal aku bukan siapa-siapa, Allah saja yang baik hingga akhirnya aku sampai kesini. Malam masih panjang, kami masih punya agenda yang tak kalah exciting. Malam itu kami habiskan berjalan mengitari desa Albayzin dimana kami bisa menyaksikan keindahan al-hambra dari sana. Keindahan AL--hambra benar-benar tak bisa dipungkuri. Setelah itu kami berkeliling sambil mendegarkan kisahnya dari perspektif tour guide lokal, lalu menyaksikan penampilan flamenco dance khas Spanyol sebagai penutup malam. Hari itu benar-benar istimewa. Alhamdulillah a'la kulli haal. Terimakasih telah mengizinkanku mengenal lagi Islam dengan cara yang tak biasa, Granada. Sekarang jika ditanya kota apa di Eropa yang ingin ku kunjungi lagi, jawabannya bukan Paris, tapi Granada. Iya, separuh hatiku tertinggal di kota ini :)

kegagahan Al-hambra palace dari kejauhan

Hari ini, sudah 40 tahun Islam masuk lagi ke bumi Andalusia. Doaku agar cahaya Islam itu bisa bersinar lagi disini. Bukankah tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak? Semoga ada ibrah yang bisa diambil dari cerita perjalanan ini. Kini letak kejayaan Islam itu ada di tangan kita, wajah Islam ada pada akhlak dan prilaku kita. Mungkin saat ini kita tak perlu memperjuangkan Islam dengan mengangkat senjata, namun cukup dengan akhlak yang mulia. Karena bukankah 2/3 kesuksesan dakwah Rasulullah dahulu juga karena akhlak beliau yang santun? Kita sama-sama belajar yaaa.. 

Ps. thanks for being the best travel buddy ever, Sekaru!

Dengan penuh rindu kepada Granada, 
Nesha 

Share: