Kamis, 26 Oktober 2017

Sehari di Paris

Paris adalah kota yang sempat hampir saya hapus dari bucket list saya. Penyebabnya adalah maraknya ledakan bom yang saat itu terjadi di Paris dan isu islamophobia yang menjadi momok pasca ledakan itu terjadi. Saya ingat betul saat sebuah ledakan di terjadi di Paris, saya yang saat itu menonton beritanya dari sebuah restoran cepat saji di Inggris bersama beberapa orang teman bule lainnya sangat merasakan ketegangannya. Maka dari itu, tadinya saya sudah ingin mengikhlaskan Perancis dari daftar negara yang ingin sekali saya kunjungi, seperti saya mengikhlaskan Turki dihapus dari bucket list saya di pertengahan tahun lalu. 

Tak hanya itu, Paris mendadak menjadi tak menarik setelah beberapa teman bercerita tentang pemgalaman mereka yang tak menyenangkan saat mengunjungi kota itu. Ada yang kecopetan tas dan passport sampai tidak bisa balik ke UK, ada yang kehilangan handphone, dan banyak cerita-cerita tak enak lainnya yang saya dengar tentang Paris. Tapi setelah di fikir-fikir lagi, you're not travelling Europe if you're not visiting French, right? hehe.. Jadinya kami tetap memutuskan untuk mengunjungi negeri Napoleon Bonaparte itu meski hanya sehari. 

Maka inilah sedikit cerita tentang sehari mengelilingi Paris. Perjalanan bus dari Amsterdam ke Paris ditempuh kurang lebih 6 jam. Saya dan Sekar menaiki bus malam dengan tujuan bisa menghemat biaya penginapan (mahasiswa banget yaa wkwk). Tapi bus-bus antar negara di Eropa biasanya sangat nyaman. Busnya juga dilengkapi dengan portable plug yang memungkinkan kita mengecas hp dan kamera selama perjalanan. Maklum, hp dan kamera adalah asset terpenting bagi traveller student seperti kami waktu itu. Karena memang ketika sampai di negara-negara tujuan, tak ada hal yang paling menarik selain mengabadaikan setiap sisi kota dan menangkap setiap momen berharganya lewat lensa. Kami tidak akan mengisi liburan dengan shopping-shopping fancy karena memang budget-nya tidak ada hihihi..


                    


Setelah perjalanan yang cukup panjang, membelah jalanan Eropa yang sunyi senyap, akhirnya kami sampai di Paris. Rasanya? deg-degan bahagia. Subuh di Paris benar-benar sepi. Di sepanjang jalan sudah mulai beralas dedaunan yang gugur. Tanda musim panas sudah mulai berakhir dan musim gugur berangsur datang.  Kami sampai ketika Paris masih sangat gelap, sekitar pukul 5 subuh saat itu. Untung saja teman kami, Satria, sudah memberikan instruksi harus kemana dan naik transportasi apa setelah turun dari bus. Kami berjalan menggerek koper menuju stasiun tube terdekat, tapi karena memang masih sangat pagi, ternyata pagar stasiunnya masih tutup. Disekitar masih gelap sekali, tidak ada siapa-siapa yang bisa ditanyai. Disitu saya dan Sekar mulai sedikit was-was. Bagaimana nanti jika tiba-tiba datang segerombolan penjahat berbadan besar bertato lalu kami di culik dan dibawa kabur ke pinggiran Eropa? (kebanyakan nonton film thriller hihi). Syukurnya mimpi buruk itu tidak terjadi karena tepat jam 6, dari kejauhan terlihat samar-samar sosok berseragam lengkap mendekat kearah gerbang, kemudian membukakannya untuk kami. Agak unik memang tube station , karena di Inggris saya tidak pernah melihat station yang punya gerbang. FYI, gerbangnya persis kayak gerbang sekolah yang terbuat dari besi itu. Kami menuni anak tangga menuju tube station, membeli tiket dan kereta bawah tanah itu membawa kami melesat secepat kilat ke tempat tujuan.  

Perjalanan mengelilingi kota Paris ini tadinya akan di temani oleh Satria, teman kami satu angkatan beasiswa yang berkuliah di Univeristy of Sorbonne. Namun qadarullah hari itu Satria demam tinggi sehingga harus bedrest. Karena tadinya tau mau di guide, jadinya kami tidak membuat itinerary detail untuk di Paris (ini jangan ditiru yaa). Untungnya, meskipun sedang sakit, Satria tapi tetap berbaik hati membuatkan kami super detail itinerary dilengkapi dengan peta yang sudah diberi stabilo dan notes lengkap berisi jenis transportasi apa saja yang harus kami ambil nantinya. Satria memastikan kami benar-benar faham dulu semua rute sampai akhirnya kami berangkat. Beneran suka terharu sama teman-teman yang baiknya kebangetan kayak gini. 


Perjalanan menyusuri sisi kota Paris pun dimulai. Saya dan Sekar memulai perjalanan kami dari Museum Louvre. Museum dimana karya-karya seniman hebat dunia ditampilkan., salah satu yang paling terkenal seperti lukisan monalisa. Museum seni ini merupakan museum yang paling banyak dikunjungi oleh turis dari berbagai penjuru dunia. Saya sebenarnya punya free entry previlage untuk masuk ke dalam musium karena berstatus student. Namun saya yang parno parah takut kecopetan ini meninggalkan semua dokumen penting di dalam koper, termasuk student card. Akhirnya saya hanya bisa masuk sampai lobi dan tidak melihat sampai ke dalam. Sungguh sangat merugi. :( Akhirnya Sekar masuk sendirian dan saya menunggu di bagian luar, sambil berkeliling di toko-toko suvenir.. huhu nggak mutu banget yaaa. Tapi akhirnya nggak sanggup beli apa-apa juga karena semua mahaalllll. Akhirnya cuma beli postcard sama magnet kulkas, again. Ohya disini kami mendapatkan pengalaman yang cukup unik. Ketika berphoto-photo, tiba-tiba datang seorang bapak tua dengan kamera polaroid vintage di tangannya yang dengan sigap memotret kami. Belum selesai kekagetan saya dan Sekar karena mendadak di photo, tiba-tiba si Bapak mamaksa kami membayar 20. Fix, kena prank! >.< Kami pun menolak karena dari awal kami tidak pernah meminta diambilkan photo. Tapi karena kasihan tetap kami beri 5 kemudian kabur hehehe. Yaap, thing like this happnens in tourism spots in Eurpore. 

Bagian luar musium yang sangat artistik, buat bisa photo di spot ini antrinya luar biasa ~

The euro travellers hehe

Setelah puas menikmati keindahan Louvre, kami melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi ikon Paris selanjutnya, Arc de Triomphe. Saat mengunjungi tempat ini, seketika saya merinding karena teringat salah satu scene di film 99 Cahaya di Langit Eropa. Di film ini diceritakan bahwa dari monumen ini, jika di tarik garis lurus kearah timur, maka kita akan bertemu dengan kota Mekkah. Posisinya benar-benar sejajar. Subhanallah.. Kenapa bisa bgitu? Kabarnya, ini merupakan bagian dari kekaguman Napoleon Bonaparte terhadap Islam. Sejak Napoleon masih masih menjadi perwira Prancis di Mesir, ia sangat terkesan dengan Islam :)


Arc de Triomphe

Selesai dari Arc de Triomphe dan Camp de Elysées, kami menuju ke sebuah desa pelukis bernama Monmartre Village. Tempat rekomendasi Satria. Dan entah kenapa, tempat ini rasanya melekat sekali di hati saya hingga sekarang. Lokasinya memungkinan kita untuk melihat kecantikan kota Paris dari ketinggian. Tempat dengan pemandangan yang indah, musisi jalanan di mana-mana, pokoknya Indah. Bagi saya, Monmartre tak ubahnya seperti galeri seni di alam terbuka. Di tempat ini berkumpul banyak pelukis dari penjuru dunia yang melukis di sepanjang jalan. Beberapa terlihat sedang melukis pejalan kaki yang lewat. Oh it's always fascinating to see people paint 💕  Disini saya juga bisa mempraktekkan satu-satunya bahasa Prancis yang saya bisa, bonjour! Lalu mereka menjawab dengan sapaan yang sama, bonjour! kemudian dilanjutkan dengan ngobrol berbahasa Inggris, hehe seru :)) Ketika kami mengatakan dari Indonesia, mereka langsung menjawab "Oh, Soekarno!". Wah Bapak Proklamator kita se terkenal itu.. Pokoknya kalau suatu saat nanti teman-teman berkesempatan ke Paris, wajib sekali mengunjungi tempat ini. Ohya, konon kabarnya musisi Anggun C Sasmi juga tinggal di sekitar sana, lho. 



 
The street artists.. they're just so kewl ~
Dari Monmartre, kami melanjutkan perjalanan ke Masjid Raya Paris. Mereka menyebutnya Grande Mosqueè de Paris. Lambang bulan bintang masih terlihat kokoh di puncak menaranya, umat muslim pun masih bisa sholat dan mengaji disana. Tak ada tanda kebencian apapun. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.. Memang agak jauh dari pusat kota, but definitely worth to visit. Mengunjungi masjid-masjid di bumi Eropa ini selalu menjadi hal sangat menarik. Setelah menempuh beberapa menit perjalanan kereta, kami akhirnya sampai. Saya tertegun melihat bagaimana arsitekur dan kaligrafi Islam terlihat sangat mewah menyelimuti seluruh sisi masjid. Masjidnya juga ramai dan kegiatan beribadah terlihat seperti biasa saja. Disana juga tidak ada pengawasan polisi yang gimana-gimana banget. Semuanya berjalan normal. Kunjungan ke Masjid itu benar-benar membuka mata saya bahwa cahaya Islam itu benar-benar telah tersebar ke seluruh bumi ini. Bahkan di Paris, kota fashion dengan sejuta kemewahan dunianya, ada sebuah Masjid besar yang selalu ramai saat waktu sholat tiba. Meski tak terdengar kumandang azan yang bersahut-sahutan di langit-langit kota ini karena memang hanya boleh terdengar untuk di bagian dalam masjid saja, namun itu sudah lebih dari cukup :')


Grande Mosquee de Paris 💕  (copyright: wikimedia.com) sedih karena kelupaan ambil photo whole look kayak gini

Di Masjid ini jugalah kami bertemu dengan Mas Akzar, seorang pelajar Indonesia yang sedang mempersiapkan S3 nya di sana. "Dari mana Mba?" tegur beliau mengagetkan. "Wah orang Indonesia, Mas? Tadi kirain Malaysia.." Awalnya kami takut menegur karena mengira Mas ini orang Malaysia, wajah melayu kan mirip-mirip yaa hehe. Rasanya seperti dapat jackpot ketika bisa bertemu dengan sesama warga Indonesia di negeri nan jauh itu. Mas Akzar bercerita banyak hal tentang kehidupan di Paris hingga akhirnya beliau menawarkan untuk menemani kami melanjutkan perjalanan mengelilingi kota Paris. Saya dan Sekar awalnya nggak enak karena mungkin saja Mas Azkar ini ada keperluan lain. Tapi beliau bilang tidak apa-apa. Maka jadilah setengah hari selanjutnya kami habiskan bersama Mas Azkar, tour guide warga lokal yang tentunya anti nyasar.. 😁 

Dan tujuan kami selanjutnya adalah.... Menara Eiffel! Saat pertama kali melihat menara ini di depan mata, rasanya kehabisan kata sekali. Cantik, semakin senja semakin cantik. Kami menghabiskan waktu di taman dibawah menara, bersantai menatapi menara dari jauh. Cuma duduk bengong aja tapi rasanya udah bahagia hehe..

Mas Akzar dan dua bocah petualang
     
Senja di Manara Eiffle.. MashaAllah, speechless.


Perjalan sehari di Paris mengajarkan saya banyak hal baru. Saya awalnya ber suudzon dengan negara ini akhirnya sadar kalimat we cannot judge something just from its cover itu benar adanya. Paris ternyata kota yang sangat ramah, tenang dan cantik apa adanya. Salah satu kota tercantik yang pernah saya kunjungi. Di Paris saya dan Sekar juga dipertemukan dengan orang-orang baik, Satria dan Mas Azkar yang membuat perjalanan kami terasa lebih ringan. So, merci beaucoup, Paris. Je t'aime ~

Ps: Perjalanan di negara sebelumya (Belanda) ada disini yaaa. Silahkan kalau mau di intip hehe..


Share:

1 komentar:

  1. Ceritanya keren kak😍😍Tapi kenapa kota Paris terkenal dengan negara yang rawan dengan tindakan pencopetan ya kak? Kan kalau di Jerman, pihak pemerintahnya menjamin kelangsungan hidup para pengangguran dengan rutin memberi biaya bantuan kak. Apa di Paris nggak diterapkan kayak gitu ya kak?
    Oh ya kak berdasarkan buku yang saya baca, sebagian station kereta api di Paris ada yang kurang terjaga kebersihannya, apakah itu benar kak?��

    BalasHapus