Kamis, 01 Februari 2018

Hijrah, Sebuah Perjalanan Menemukan

Halo halo Assalamua'laikum,
Kayaknya udah lama banget nggak update blog, sekarang mumpung lagi free mau cerita sedikit. Hampir empat tahun berlalu tapi rasanya detail cerita ini belum pernah saya ceritakan di kanal media sosial manapun, so I think this is the right time! :)


Tentang hijrah, tentang sebuah perjalanan menemukan. Tentang saya yang sudah terlahir sebagai Muslim sejak lahir tapi sebelumnya melihat agama ini hanya sebagai atribut ibadah. Dulu, yang saya tahu, Islam itu adalah tentang sholat, puasa, sedekah, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ibadah satu arah dengan Allah saja. Alhamdulillah-nya, dari awal tamat SD saya sudah ingin sekali berkerudung, padahal waktu itu masih sedikit sekali anak-anak yang berkerudung. Jadi Alhamdulillah nggak ada drama dengan momen awal berkerudung, hehe. Kemudian saya sendiri yang meminta kepada orangtua untuk di sekolahkan di sekolah Islam dan tinggal di asrama selama tiga tahun masa SMP, otomatis disini saya lanjut kerudungannya. Setelah itu saya melanjutkan ke SMA umum dan menjalani hari-hari seperti anak SMA pada umumnya. Sekolah, ikut OSIS, main sama teman-teman. Saya bukan tipikal anak yang rajin datang ke forum-forum annisa semasa SMA. Saya yang songong saat itu merasa bahwa selagi saya masih sholat, masih baca Qura'n, masih berkerudung rasanya saya belum perlu lah datang ke forum-forum begitu. Teman-teman saya juga baik, saya ngerasa agama saya baik-baik saja jadi saya merasa nggak butuh-butuh banget lah datang ke forum-forum seperti itu, songong banget parah :(

Naudzubilah min dzalik.. :(
Semua berlanjut saat saya masuk ke bangku kuliah. Lagi, saya merasa tak ada yang perlu di benahi sekali dalam diri saya, in terms of religion anything related to it. Saya sudah melakukan semua ibadah-ibadah "default" yang Islam perintahkan, saya menjauhi segala hal yang Islam larang. Kuliah  lancar, komunitas jalan. Saya happy-happy aja ngejalanin semuanya. Makanya saya merasa tidak harus meng-upgrade ilmu apa-apa saat itu. Saya merasa sudah di posisi aman dan cukup. Saya juga nggak tau kenapa bisa begitu. Pokoknya rasanya waktu itu tidak terpanggil untuk ikut forum-forum yang ada di kampus.

Padahal saat itu saya dikelilingi oleh teman-teman yang pemahaman agamanya sudah jauh berlapis lapis diatas saya. Kerudungnya "rapih", yang pada rajin banget ikut kegiatan dakwah kampus, yang energinya nggak habis-habis buat ngajakin orang untuk kebaikan, yang menjadikan Islam lebih dari sekedar perkara sholat, puasa dan lain-lainnya. Mereka yang kalau lagi ngobrol rasanya iman langsung ke boost up. Tapi apa? tiga tahun kuliah dan berteman dengan mereka saya sama sekali tidak tergerak untuk melakukan hal yang sama. Saya bukan pihak yang skeptis dan menghindar, tapi tidak juga mengikuti. Pokoknya ya gitu, waktu itu saya ngerasa udah berada di posisi cukup. Cukup dengan memakai celana jeans ke kampus, cukup dengan kerudung yang di lilitkan ke bahu (dan kadang terawang pula), cukup dengan ibadah yang juga sebenarnya masih sangat standar, pokoknya merasa cukup aja dengan semua yang sudah saya lakukan sehari-hari saat itu.

Sampai pada suatu saat, di tahun akhir kuliah, seorang kakak di komunitas debat yang saya ikuti mengajak kami untuk membuat sebuah kelompok kecil. Kelompok kecil yang ended up jadi tempat berbagi ilmu dan berbagi cerita. Kami menyebutnya halaqah. Sebelumnya saya sudah familiar dengan istilah tersebut karena teman-teman saya yang berjilbab "rapih" itu sudah lebih dahulu mengikutinya. Di awal awal mengikuti halaqah rasanya biasa saja, namun lama-lama jatuh cinta. Namaya Kak Nurul, dialah yang pelan-pelan mengajak kami untuk mengenal Islam dengan lebih baik lagi. Hijrah ini takkan mudah tanpa dukungan Kak Nurul tdan eman-teman saya yang selalu tulus mendukung, serta mendoakan. Allah juga pertemukan saya dengan teman satu lingkaran yang mau sama-sama belajar, ukhties saya di club debate. I love them for the sake of Allah, really. I mean it..

Dakwah mereka lembut,
Membina, bukan menghina
Memuji, bukan mencaci
Mengajarkan, bukan menertawakan
Oleh sebab itulah saya bertahan

Dari sana perlahan saya belajar, saya mulai memahami bahwa Islam yang saya bawa sejak lahir ini bukan hanya sekedar sholat dan puasa, tapi sistem hidup yang mengatur seluruh tatanan kehidupan kita mulai dari hal terkecil sampai hal paling kompleks sekalipun. Mulai dari akidah sampai muamalah, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, cara kita makan, cara kita minum, cara kita berteman, bertetangga, apapun.. bahkan cara kita masuk toilet pun diatur dalam Islam. Dan da'wah itu ternyata tugas seluruh Muslim. Dakwah tak harus melulu di Masjid ngasih ceramah. Makna da'wah itu ternyata luas. Dengan kita jadi agen Muslim yang baik, membawa Islam dalam tingkah laku kita, orang senang sama kita, itu juga da'wah. Kita berhijab tapi kita tetap bisa aktif di kegiatan sosial, suka bantu orang, itu da'wah.

Ada beberapa hal yang sebenarnya mungkin sudah kita ketahui tapi terlupakan. Lupa karena tak ada yang mengingatkan. Karena manusia itu tempatnya lupa, makanya kita butuh orang-orang soleh untuk selalu mengingatkan kita. Karena salah satu cara menjaga iman kita yang naik turun mcam roller coaster ini adalah dengan berkumpul bersama orang-orang sholeh. So if you have found one, keep them. If you haven't, go find the circle. Kita takkan kuat kalau sendiri, berat. Baiknya kita sama-sama saja :)

Karena terkadang kita yang sudah Islam dari dulu ini merasa tak perlu lagi meng upgrade apa apa karena kita pun mungkin sedang tidak memperjuangkan apa-apa berkaitan dgn agama kita. Berbeda dengan saudara-saudara kita yang mualaf yang mungkin harus memperjuangkan banyak hal, mempelajari banyak hal dan tak jarang mengorbankan banyak hal untuk berislam secara kaffah. Sedangkan kita? We take our religion for granted. 

Saya jatuh cinta sekali dengan salah satu potongan zikir yang ada di dalam zikir pagi petang (al-matsurat) Hasan Al-Banna. Saya yakin teman-teman pun sudah familiar dengan zikir indah ini, Zzkir tersebut berbunyi:

“Radhitubillahi Rabba, wa bil islami diina, wabi muhammadiin nabiya wa rasulullah….”Yang artinya : Aku Ridho Allah Subhanahu wata'ala sebagai Tuhanku, Islam sebagai sistem hidupku, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai nabi dan rasulku.

Diin (agama) disini dibahasakan sebagai sistem hidup. Pemilihan kata yang 
indah karena sejatinya begitulah seharusnya kita memaknai agama kita. Sebuah sistem hidup yang mengatur apa-apa yang kita lakukan sebagai penganutnya. Begitu pun kalimat "aku ridho..", ini menurutku dalam sekali. Ini semacam ikrar antara kita dan Allah. Ridho menurut kamus al-munawwir artinya senang, rela. Coba kita renungi, apakah di dalam kehidupan sehari-hari kita benar-benar sudah ridho terhadap Allah dan atas apapun yang Ia tetapkan terhadap diri kita? Atau masih banyak mengeluh dan protesnya? Begitupun dengan keridhoan kita terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul kita. Saya faham butuh waktu untuk bisa sampai ke tahap ini. Saya sendiri pun masih belajar. Masih jauh.. Tapi paling tidak kita harus terus belajar, harus terus perproses. Dan ingat, proses itu harus selalu keliatan hasilnya walaupun sedikit. Dalam apapun, baik kita dan agama kita atau pun kita dan kerudung kita.

Ngomong-ngomong soal kerudung, saya teringat postingan Gitasav yang bercerita bagaiman a seharusnya kerudung kita ini bukan sekedar kain yang menempel di kepala saja. Karena kerudung kita adalah identitas agama. Saat kita memakai kerudung, berati kita memakai dan "membawa" agama kita kemanapun kita pergi. Berat? Iya. Tapi bukan berarti ini bisa menjadi justifikasi kita untuk melepas kerudung. Berkerudung sama wajibnya dengan sholat. Perintahnya tertulis di al-Qura'n. Tapi berkerudung disaat kita benar-benar sempurna juga tak akan pernah ada momennya. Karena kita manusia dan fitrahnya manusia memang akan selalu berbuat salah. Semoga si "penutup kepala" ini bisa jadi alarm untuk kita. Jangan sampai kita berkerudung tapi cara fikir, sifat dan kelakuan kita jauh dari apa yang agama kita ajarkan. Saya pun begitu, kadang malu karena udah berkerudung segede taplak meja gini tapi masih suka lalai, suka khilaf dalam banyak hal. :(

- Gita Savitri Devi -
Sejalan dengan Gitasav, saya salut dengan teman-teman yang bisa menjaga agama dan selalu bisa istiqomah tak peduli sekeras apapun badainya. yang menjunjung tinggi kerudungnya, yang rela meninggalkan segala hal yang tidak merepresentasikan agamanya demi selembar kain dikepalanya. Yang tetap bisa menebar manfaat dan mengaktualisasikan diri dengan pakaian taqwa yang menutupi tubuhnya, saya salut. Saya salut kepada mereka yang benar-benar telah bisa membawakan Islam sampai ke seluruh aliran darahnya, ke detak jantungnya, ke denyut nadinya. Saya salut dan saya iri,
tolong doakan saya, ya.

Mungkin selama ini kita sibuk dengan hal-hal yang jauh lalu lupa dengan hal yg sebenarnya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kita sibuk memikirkan kapan ketemu jodoh lalu lupa bahwa beberapa kosmetik kita waterproof dan kosmetik waterproof itu tidah bisa ditembus air wudhu. Apa yang terjadi jika wajah kita tidak terbasuh sempurna? Wudhu kita tidak sah. Lalu? Otomatis sholat kita juga tidak sah. Serem kan? Padahal sholat ini adalah hal paling pertama yang akan dihisab di akhirat kelak. Begitu juga lipstik, kalau pas minum warna lipstiknya nggak nempel di gelas, berarti dia waterproof. Sederhana tapi sering terlupa. Ini kamaren diingatkan lagi sama adek Lola (@lolanyunyuu) di instagramnya. Makasi Lolaaa.. :') Sungguh, perjalanan menemukan ini masih panjang.. Semoga Allah mudahkan langkah kita dan Allah kuatkan hati kita.. 


Share:

1 komentar: