Jumat, 21 September 2018

Even If #2



Matahari hampir tenggelam ketika Lana tiba di Conwy. Cahayanya menyisakan warna jingga keemasan di atap-atap rumah kota kecil itu. Dedaunan yang masih tersisa di ranting terlihat bergoyang kesana kemari mengikuti arah angin. Untuk sampai di rumah yang akan ia tinggali selama pengambilan data, mobil uber yang ditumpangi Lana melewati sebuah kastil tua. Kastil itu masih terlihat gagah hingga sekarang. Kastil yang sempat ia kunjungi saat pertama kali survey ke Conwy beberapa bulan lalu.

Kastil tersebut dibangun untuk Raja Edward I dan dirancang khusus oleh arsitek kenamaan asal Prancis bernama Master James of St George. Kastil di pantai utara Wales ini menjadi salah satu benteng terbaik yang pernah dimiliki warga Wales pada abadnya, salah satu yang paling dibanggakan oleh semua orang disana. Tak tanggung-tanggung, pihak kerajaan diperkirakan menghabiskan dana hingga puluhan ribu poundsterling untuk membangung kastil megah ini. Kastil yang di dari tahun 1283 sampai 1287 itu mempekerjakan lebih dari 1.500 perajin dan buruh dari seluruh Inggris Raya. Luar biasa memang. Sekarang meski tak lagi difungsikan oleh kerajaan, Conwy Castle tetap ramai dan menjadi salah satu tujuan wisata favorit bagi yang berkunjung ke Conwy.

***
The way home
Lokasi rumah yang akan ditinggali Lana tak sampai 5 menit dari Kastil. Rumah airbnb itu ia sewa untuk dua minggu. Rumah bergaya Scandinavia yang membuat Lana semakin bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugas penelitiannya. Disana ia ditemani oleh si tuan rumah, seorang nenek tua yang berhati selembut salju. Setiap pagi Lana selalu sigap menyiapkan entah itu sereal dengan susu semi skimmed, potato coat, garlic bread atau sekedar teh Twinnings lemon grass hangat untuk Alana. Jarang-jarang orang bule sebaik ini pada tamunya. Terlebih, menyajikan sarapan bukanlah budaya orang Inggris yang terkenal mandiri. Kalau mau sarapan ya ambil sendiri. Tapi berbeda dengan nenek Louisa. Hal inilah yang membuat Lana betah berlama-lama tinggal di Conwy. 

“Hari ini mau kemana?” tanya nenek Louisa saat Lana baru tiba di ruang makan.
“Hei, nggak kemana-mana nek. Mungkin akan dirumah aja mengolah data.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Baguslah. Hari ini prediksinya ada angin kencang. I just checked the weather forecast. You better stay at home.”

Melihat weather forecast dipagi hari bagi orang Inggris itu sama pentingnya dengan mencuci muka setelah bangun tidur. Wajib hukumnya, fardu ain. Kemdian, rute perjalanan dan baju yang akan dipakai hari itu akan ditentukan oleh hasil prediksi weather forecast. Cuaca Inggris yang tak menentu juga menjadi small talk favorit pembuka obrolan dengan teman atau orang baru sekalipun. Selalu ada hal menarik yang bisa dibahas tentang cuaca.

Hari ini tepat dua minggu Lana melakukan penelitiannya. Satu per satu data yang ia butuhkan sudah berhasil ia dapatkan. Setiap hari biasanya ia berkunjung ke Conwy Primary School, mengobrol dengan guru-guru yang ada disana, memperhatikan cara anak-anak belajar dan berinteraksi lalu mendokumentasikan semuanya dalam bentuk narasi dan gambar. Namun, soa photo-memoto, Lana harus mendapatkan izin dari guru dan orangtua murid terlebih dahulu. Inggris memang memliki peraturan yang cukup ketat terkait privasi anak, dilarang keras mengambil photo anak-anak tanpa se izin guru dan orangtua mereka. Jika ketahuan mengambil photo tanpa izin, apalagi sampai mengunggahnya ke media social, orang yang bersangkutan bisa dikriminalisasikan. Ya, segitu pentingnya menjaga privasi anak bagi orang Inggris. “Anak-anak itu belum tentu suka kalian photo. Mereka belum tentu suka dengan photo yang kalian unggah. Hanya saja mereka belum bias menyampaikannya. Maka kitalah yang harus peka, kita yang harus membantu mereka menajaga privasinya.”, begitu penjelsan salah satu orang tua yang kutemui di Leeds beberapa bulan lalu. Ah, hal-hal yang selama ini dianggap biasa oleh orang Indonesia, ternyata menjadi hal penting bagi orang Inggris. Benar kata Ayahku, “berjalanlah, nak. Kau takkan pernah tau apa yang terlewatkan oleh negerimu jika tak pernah melihat negeri orang lain.”, ujarnya berulang-ulang. Sekarang aku faham apa yang ia maksud.   


Pelajaran lain dating dari nenek Louisa. Dua minggu ini banyak ia habiskan dengan bertukar cerita dengan sang nenek. Beliau berasal dari Edinburgh, sebuah kota cantik di Skotlandia sana. Negeri tempat “lahirnya” Harry Potter untuk pertama kalinya. Nenek Louisa pindah ke Conwy karena mengikuti suaminya yang bertugas Conwy Harbour. Beliau mempunyai tiga orang anak namun tak satupun yang tinggal dengannya. Anak pertama dan keduanya bekerja di London, sedangkan bungsunya menikah dengan lelaki Muslim berkebangsaan Spanyol lalu menetap di sana. Itulah sebabnya ia juga sudah tak asing lagi dengan perempuan berhijab, karena putri bungsunya pun ternyata sudah menjadi muallaf semenjak menikah dan menutupi kepalanya dengan hijab sama seperti Alana. Ia sangat senang saat mengetahui bahwa Alana akan tinggal lama dirumahnya. Alana yang berkerudung rapi itu mengingatkannya pada bungsunya yang jauh di Eropa Selatan sana. Nenek Louisa memang tinggal seorang diri semenjak suaminya meninggal lima tahun. Setelah suaminya meninggal, nenek Louisa memutuskan untuk tetap tinggal di Conwy meski hanya seorang diri. Ia selalu menolak saat anak-anaknya mengajak untuk pindah ke London atau pulang kampung ke Edinburgh. Baginya Conwy adalah rumah, dan akan selalu rumah. Ia tak pernah memikirkan untuk menghabiskan masa tuanya di tempat lain. Hanya Conwy, hanya kota kecil di pesisir pantai ini saja yang ada dihati dan fikirannya, bukan yang lain. Itulah sebabnya anak-anaknya mendaftarkan rumah keluarga nenek Louisa di website penginapan airbnb berharap ada orang-orang baik yang akan berkunjung menginap sambil menemani ibu mereka yang sudah tua ini.

Nenek Louisa, can I ask you something?” tanya Alana saat sang nenek asik menata bunga-bunga kesayangannya didalam vas.
“Yes sure, sweetheart. What is that?” jawab nenek Louisa tersenyum.
“What do you let you little girl convert to Islam?” tanya Lana hati-hati.

Nenek Louisa tersenyum manis, hingga gurat-gurat hari tuanya tampak tersamarkan.

“Darling, let me tell you something. Everyone has their own way to be happy. Marie, my little girl, decided to marry the one she loves, convert to Islam and be happy with that. So, what am I supposed to do?” jawab nenek Louisa sambil menatap mata Alana dalam-dalam.
“But are you happy with her decision?” Alana menggenggam tangan nenek Louisa erat.
“A mom is always the happier when her child is happy, Alana..” Nenek tersenyum dalam.

“So, you are okay with that?”
“I was not, at first. But then, I realized that there is no point of stopping her from what she believes alright. So, I just let it be..”



“Sorry, I know I shouldn’t ask this. But, do you feel lonely now?”
“Yes, I do. But I’m fine, I’m happy for my children. I’m happy when they are happy.”, matanya berkaca-kaca.  

Mereka saling berpelukan. Kemudian percakapan pagi itu semakin melebur bersama the yang mereka seduh. Alana menarik nafas panjang “Pagi yang tak mudah..”, gumamnya dalam hati.


Share: