Selasa, 12 Februari 2013

Aku dan Jingga Kecilku



“Nanti kalo aku gede  aku mau kayak Unyi, jadi docen” celetuk malaikat kecil itu  mengagetkanku yang tengah asik memriksa hasil latihan menulisnya dan teman-temannya.
“Waaah benarkah sayang? Kenapa gak jadi presiden aja, kan duitnya banyak” godaku sambil meliriknya.
“Gak ah. Pleciden cibuk.. Ntar aku gak bica sering ketemu Unyi” jawabnya lugu sambil melipat-lipat kertas origami merah mudanya yang sudah tak berbentuk.

                Celotehan polos Jingga selalu saja mampu membuatku tersentak, tau apa anak sebesar ini soal cita-cita. Terlebih lagi soal sibuk, ia dengar dari mana pula istilah itu di tempat yang jauh dari kehidupan luar ini. Ya, Jingga adalah penghuni  tetap Panti Asuhan Mata Cinta. Menurut cerita Ibu Lasmi, ketua pengurus panti, Jingga ia temukan masi berbalut tali plasenta tak jauh dari pertigaan Jalan Soebroto. Nama Jingga adalah pemberian dariku empat tahun yang lalu ketika aku bersama teman-teman datang berkunjung untuk kegiatan bakti sosial kampus. Dari awal, gadis kecil ini sudah menarik perhatianku. Semenjak kedatanganku pertama kali ke panti, alam seperti menuntunkun untuk selalu merindukan Jingga dimana pun aku berada. Sejak itu aku selalu rutin mengunjungi Jingga sambil melaksanakan tanggungjawab batinku mengajarkan kakak-kakaknya disana menulis dan berhitung. Kadang aku datang sendiri, kadang ditemani Jihan dan Nadin. Diantara teman satu kelas yang kala itu berjumlah tiga puluh dua orang, hanya kami bertiga yang bertahan. 

Pernah ketika itu aku sibuk skripsi, selama dua minggu aku tak punya waktu untuk berkunjung ke panti, dan alhasil aku jatuh sakit. Badanku panas tinggi. Mama tau aku pasti rindu Jingga dan Mama yang sangat tanggap saat itu juga langsung datang ke panti dan memohon pada Bu Lasmi agar Jingga boleh dipinjam dan dibawa kerumah. Aku ingat Mama menggendong Jinggaku itu seperti membawa bayi boneka teddy bear dan  dengan sabar hingga ke kamarku di lantai dua yang ajaibnya setelah bertemu Jingga panasku langsung turun, drastis. Jingga lebih sakti daripada dokter Khalil, dokter pribadinya Kakek.  Sekarang, detik ini Jingga sudah berumur empat setengah tahun, tak terasa sudah dua setengah tahun yang lalu kejadian itu berlalu.

“Jingga, sini cantik.. mau sholat dzuhur bareng Unyi? Ayo siapa ntar yang mau masuk surganya Alloh bareng-bareng?  ” ujarku setengah berlutut sambil merapikan rambut tebalnya yang acak-acakan.
“Mau.. mau.. di syurga banyak kue cokyat kan Unyi?” jawabnya menggebu-gebu.
Jinggaku dengan mata bulat dan pipi penuh diwajahnya sudah tumbuh besar menjadi gadis cilik yang manis dan Ibunya diluar sana pasti akan hidup dalam belenggu penyesalan tak bertepi, seumur hidup.

Menggemaskan setiap kali mendengar Jingga memanggilku dengan panggilan Unyi, panggilan kepada kakak perempuan yang bagi orang Minang secara konvensional disepakati dengan sebutan Uni itu entah mengapa menjadi berubah dan terdengar sedikit berbeda ketika keluar dari mulut mungil Jingga. Dan jadilah panggilan ini menjadi panggilan ade-adek lainnya secara berjamaah. Unyi Ara mereka memanggilku dan Unyi Ala untuk Jingga yang sama sekali merasa tak berdosa ketika menukar-nukar bunyi suku kata yang keluar dari mulut cadelnya itu.    

#To be continued....  

Nb: Please kindly leave your comment for my first fiction post, bloggy. Thanks ;)

  

Share: